Pakaian dan Cinta yang Tumbuh
Jumat, Maret 20, 2015
Sumber:
Betul saja aku kesal bukan main dua malam kemarin. Kesal yang kusesali
dan, aku jatuh dalam cinta—lagi. Akhirnya begitulah, kalau aku bilang terima
kasih, apa sudah cukup?
Kita menghabiskan malam dengan banyak hal. Meski, maaf,
akhir-akhir ini mataku getol memproduksi lem tak ber-merk namun keren
sekali karena bisa mengubah julukanku jadi tuti, alias tukang tidur. Ya … ya,
segala yang buruk-buruk tak boleh dibiarkan menyampah dalam kamar kita. Aku akan
berusaha.
Seperti kamu juga, mungkin, aku suka kalau kita menghabiskan
waktu dengan tenggelam dalam huruf-huruf. Entah itu membaca atau menulis, atau
keduanya. Diam-diaman sebentar, tak apalah. Atau seperti malam-malam di
minggu-minggu bulan lalu, kita belajar berjadwal. Kajian keislaman, sastra,
praktik menulis, parenting, sampai
bahasa arab.
Dua malam kemarin itu agak lain memang. Barang-barang yang baru
saja kita angkut dari kosan lama butuh dirapikan. Hahaha … ternyata dipindah
berapa kali pun (aku punya sejarah pindah sana-sini), barang-barang itu secara
garis besar tetap hanya dua jenis. Pakaian dan buku-buku.
Tiba-tiba kau tersenyum lembut. Matamu—aku suka matamu yang
seperti itu—berlimpah hangat. Dan, aku girang sekali menunjukkan baju-baju
dalam koper. Kau membantuku mengeluarkan semuanya. Tiga koper, satu kantong
besar dan sebuah tas. Menggunung. Lepaslah ceritaku dari satu baju ke baju
lain. Bagaimana aku membelinya, kenangan apa meliputinya, atau hal-hal remeh
temeh semisal mengapa aku menyimpannya begitu lama. Kau anteng mendengarkan. Sejauh itu, perasaanku tenang-tenang saja.
Muncullah kalimatmu yang jeddeeer
… setelah koper kau pasang di dekatmu dalam keadaan terbuka. Kau bilang kalau
aku hanya boleh menyimpan beberapa pasang baju. Secukupnya. Untuk tidur, di
rumah, dan untuk jalan-jalan atau berkegiatan. Beberapa pasang saja. Baju-baju
yang kau tak suka melihatnya, waktunya dikoperkan atau dikirim kemana begitu. Sebetulnya
alasanmu tak ada salahnya. Baju-baju itu memang tidak begitu syar’i. Entah terlalu
pas di badan atau kainnya kurang tebal. Yang syar’i pun beberapa harus dieliminasi.
Pokoknya, se-cu-kup-nya.
Aku mengilah, beralasan ini-itu untuk mempertahankan. Kupikir baju-baju
itu masih sangat layak pakai. Baju-baju itu kesayangan semua. Ah, meski kalau
dipikir-pikir, aku memang selalu menyayangi sesuatu. Hehe. Dan sungguh, maafkan
aku.
Bagaimana mungkin
kita bisa berbagi lebih kalau yang begini saja kita sulit, enggan. Sabar itu
sejatinya adalah syukur, bersyukur atas yang sedikit—yang biasanya lebih mudah
kita kontrol. Bersyukur dengan yang banyak, kadang inilah yang orang-orang
sering lalai, selalu menuruti keinginan. Salah satu cara bersyukur, kau tahu
sayang, dengan mengambil yang kita butuh saja lalu membagikan selebihnya.
Itu nasihatmu dan aku masih memikirkan banyak hal. Bagaimana perempuan-perempuan
di luar sana tampil cantik dan alangkah menyenangkannya jika bisa gonta-ganti pakaian.
Ah, mengoleksi baju-baju bukan berarti kita pelit dan enggan berbagi, kan?
Kau menanyaiku, apa dengan baju yang sedikit yang tempo hari
kubawa tinggal sebulan di suatu tempat membuatku tak berganti pakaian? Kuulang memori
itu dan kudapati bahwa aku cukup dengan beberapa baju saja. Ah, Sayang, apa ini tanda cinta dunia?
Mendekatlah, kau
memanggilku. Enggan-enggan sedikit aku beranjak. Kau mendekapku lalu
memperlihatkan sebuah tulisan. Bagaimana kesederhanaan pakaian rasul dibahas di
sana. Juga bagaimana para sahabat memberikan apapun yang dia punya untuk agama
ini, bukti cintanya pada Allah. Zuhudlah …
zuhudlah ….
Di saat banyak suami membelanjakan istrinya ini-itu, kau malah
jadi alarm untuk mengambil secukupnya, membagi selebihnya. Ya, katamu juga,
kita mesti ingat mimpi-mimpi besar kita. Mimpi di dunia sosial yang kita sudah ikrarkan
janji untuk ditekuni. Semoga yang membaca
ini melapangkan hati untuk mengaminkan mimpi-mimpi itu.
Aku akan belajar, terus belajar. Maaf untuk kelapangan yang tidak
langsung datang. Ah ya, kutulis ini dengan harapan agar yang lain bisa
mengambil sedikit hikmah. Semoga.
Satu lagi. Ana Uhibbuka Fillah.
***
sumber:
Baca Juga:
Sabar dan Syukur
Sabar dan Syukur
7 komentar
Whua... sama cerita kita mbak. Waktu suami pindah dari kos-kosannya, cuma bawa beberapa pasang baju. Alhasil baju saya memenuhi 1,5 lemari dan suami cuma 1/2 lemari. Dan beliau cuma geleng-geleng takjub ngeliat tumpukan baju saya dan bertanya "Ini semua di pake?." He he
BalasHapusKalau perempuan emang gitu ya, Mbak. Hihi.
HapusTerima kasih sudah berkunjung. :)
Aamiin
BalasHapusTerima kasih untuk doa dan kunjungannya, Kak. :)
HapusIndahnya.
BalasHapusMemang perempuan beda dengan lelaki. Walau pakaian saya tergolong itu2 saja, tetap saja lebih banyak dari suami saya. Padahal saya tergolong jaraaangs sekali beli baju. Baju zaman 20 tahun lalu pun masih ada.
Cuma ada saatnya memang ternyata saya butuh lebih banyak baju daripada suami. Terutama ketika mencuci tidak bisa dilakukan sering2 karena keterbatasan tenaga. Tapi yah, masing2 orang berbeda. Masing2 orang punya pemikiran sendiri2 :)
Barakallah yaa :)
Iya, Kak. Laki-laki memang simple sekali (meski tidak semua). Tak kayak perempuan. Walau simple tetap saja lebih ribet.
HapusTerima kasih kunjungannya, Kak. :)
Begitulah uniknya perempuan, Mas. Hehe. :D
BalasHapusTerima kasih kunjungannya. :)