Sabar dan Syukur
Selasa, Maret 10, 2015
Sumber: data:image/png;base6
Seberapa sabar dan bersyukur kita? Tak ada jawaban yang bisa tersuguh saya kira. Kita, manusia, lakon yang hatinya dipegang oleh sang Maha. Kita cukup memanjangkan doa, berserah, agar terus diberi kemampuan menjaga. Saat saya lupa, jangan menyimpan suara. Beritahu saya dimana letak yang mesti diubah. Saat kau lupa, akan ada nasihat, jika saya bisa dan kau minta.
Kita mesti membuka mata pada apa saja, siapa saja. Karena bukankah ilmu ada dimana-mana? Ah ya, bukan cuma mata. Pun hati yang mestinya luas dan luas. Juga kepala, harus diajari untuk selalu merasa kosong, merasa haus, ingin terus diisi.
Dalam buku-buku yang penuh huruf, kita bisa membaca pikiran orang-orang menyoal ini dan itu. Sedikit atau banyak, pasti ada hikmahnya. Pohon-pohon, jalan, seseorang di lampu merah dengan separuh kaki, anak-anak yang kehilangan ibu bapak juga kasih sayang, pada mereka ada pelajaran yang tak bisa kita nominalkan dalam bentuk apa pun.
Masalah-masalah atau kesempitan yang sering kita keluhi itu sebenarnya ruang belajar paling ideal. Cara Tuhan menasihati kita. Atau, bisa jadi Tuhan memang menyiapkan itu untuk menempa kita, sebelum apa yang kita rapal sebagai keinginan diberikanNya.
Sabar dan syukur harus dihapal mati, lantas otomatis dirasakan sebagai cara berbahagia. Percayalah padaNya, Dia tak akan membebani kita dengan hal-hal yang tak kita sanggup. Semisal uji itu lebih berat dari orang lain, mestinya kita menyimpul senyum, bukankah, artinya, kapasitas kita juga lebih?
*Saat menulis ini, saya merasa sangat disayangiNya. Saya dan suami sering mengulang ini dalam obrolan, “tak perlu takut atau cemas, kita punya Dia. Doa saja. Usaha saja. Lalu sabar dan syukur.”
0 komentar