Cerpen Majalah GADIS Edisi 16 (11-20 Juni 2013)

Rabu, Juli 17, 2013

Surat Bersampul Biru
Oleh: Dikpa Sativa
________________________

“Lea… tunggu!”

Teriakan itu membuat Lea senyum-senyum sendiri di kursi belakang bus sekolah yang ditumpanginya. Hatinya berbunga-bunga. Sebenarnya dia ingin sekali turun dari bus lalu berlari menemui sosok itu. Seperti adegan di film-film remaja. Tapi urung. Bus sudah melaju. Bisa-bisa seluruh isi bus berteriak protes kalau bus tiba-tiba berhenti.

Lea berlari-lari kecil menaiki tangga. Langsung menuju kamarnya. Terburu-buru. Melewati mama yang sedang asyik membaca majalah di ruang tengah. Mama terheran-heran. Ada apa?

Sepuluh menit kemudian, Lea sudah berdiri di depan Mama. T-shirt biru, celana jeans dan tas di pundaknya. Seperti biasa, rambut sebahunya dibiarkan tergerai.

“Ma, aku nginap di rumah Thira, ya?” Lea meminta izin pada Mama.

“Lho, besok kan bukan hari libur, Lea,” Mama agak keberatan.

“Tapi Ma… Lea mau jenguk Thira. Dia lagi sakit,” Lea merajuk.

“Iya… iya… tapi kamu makan siang dulu.” Mama akhirnya mengizinkan.

“Makasih, Ma. Tadi Lea udah makan siang di sekolah.” Lea mengecup pipi Mama dan langsung beranjak pergi.

Lea memang mau menjenguk Thira. Tapi bukan itu alasan sebenarnya. Lima menit lalu, Thira mengirim pesan singkat bahwa kondisinya sudah baikan. Hanya perlu sedikit istirahat. Bagaimana pun kondisi Thira, Lea sudah tak sabar menemuinya. Menceritakan kisah romantis yang dialaminya barusan. Juga menyampaikan surat bersampul biru untuk Thira. Entah dari siapa.

“Thiraaa… aku seneng banget hari ini.” Lea langsung menuju kamar Thira. Mengempaskan tubuhnya di atas kasur tebal.

“Halah… kirain beneran mau jenguk aku. Ternyata cuma mau curhat,” Thira mendengus kesal.

“Bukan gitu Thira sayang…. Aku ke sini beneran mau jenguk kamu kok. Sekaligus curhat dan nganterin surat ini.” Lea menyodorkan sebuah surat bersampul biru.

“Surat bersampul biru lagi?” Thira mengernyitkan dahi.

“Iya. Dari dalam laci mejamu. Hmm… sepertinya dia cinta mati deh sama kamu.” Lea mengerling jahil.

“Tauk ah. Kayak nggak ada kerjaan aja,” Thira menjawab malas.

Thira memang tak pernah memikirkan satu kata itu. Cinta. Agak aneh sih. Tapi itulah Thira, yang memegang teguh prinsipnya. Tidak boleh pacaran sebelum lulus SMA. Jadilah banyak cowok sakit hati karena ditolaknya. Beda dengan Lea, sahabatnya. Entah sudah keberapa puluh kalinya Lea menyatakan jatuh cinta. Seperti dua minggu lalu.


Lea sedang menemani Thira di perpustakaan. Tiba-tiba, tanpa sengaja, matanya menangkap seorang cowok tengah memerhatikannya. Cowok itu duduk tidak jauh darinya. Di meja seberang. Lea benar-benar tidak menyangka, cowok yang selama ini diidolakannya ternyata juga menyukainya. Mungkin.

“Sssttt… Thira… sssttt…” Lea mengguncang lengan Thira. Membuyarkan konsentrasi cewek berkacamata itu.

“Apa sih, Lea? Berisik amat.”

“Eh, kamu tahu nggak nama cowok itu?”

“Yang mana?”

“Itu, yang cakep, yang duduk di meja sebelah sana.”

“O… itu. Namanya kak Rey. Dia big bossku. Pimpinan redaksi mading sekolah.”

Berhari-hari, topik pembicaraan Lea itu-itu saja. Kak Rey, kak Rey dan kak Rey. Lea tak lelah bertanya. Mulai dari kak Rey kelas berapa? IPA atau IPS? Rumahnya dimana? Hobinya apa? Dia suka makan apa? Nomor teleponnya? Bahkan, kak Rey ke sekolah jam berapa? Thira benar-benar bosan mendengarnya.

“Thira… aku mau dong gabung jadi anak Mading.”

Lea menemukan ide cemerlang. Menjadi tim Mading sekolah akan memperbesar peluangnya dekat dengan kak Rey. Ya, tak butuh waktu lama, aku dan kak Rey pasti bakal jadian. Lea bersorak dalam hati.

“Nggak bisa, Lea,” suara Thira membuyarkan angan-angan Lea.

“Nggak bisa? Kenapa?”

“Kan perekrutan anggota baru udah lewat.”

“Thira… please… kamu kan anak Mading, pasti punya cara. Masukin aku diam-diam kek… atau...”

“semua calon anggota harus ngikutin rangkaian kegiatan. Jadi, ya tetep nggak bisa.”

Lea terdiam. Kecewa. Dia benar-benar tidak menyangka, Thira yang sudah dianggapnya saudara sendiri, tak mau membantunya. Lea beranjak pergi.

“Kamu pengin masuk Mading karena mau deket dengan kak Rey, kan?”

Thira duduk di samping Lea. Dia sadar, Lea marah padanya. Lea masih diam, tak menjawab. Wajahnya yang putih bersih tertekuk, jelas menggambarkan kekesalan.

Thira sesekali membetulkan letak kacamatanya. Dia memandang sekitar. Di lapangan, cowok-cowok lagi asyik main basket. Sepertinya mereka dari kelas berbeda. Banyak juga yang ngobrol di bawah pohon, di taman sekolah. Sepuluh menit lagi bel berbunyi, istirahat usai. Dia harus minta maaf pada Lea. Rambut sebahunya yang tadi pagi dikuncir, bergerak-gerak tertiup angin.

“Maaf, Lea. Itu udah jadi persyaratan. Jadi nggak ada yang bisa ganggu gugat apalagi curang,” Thira berusaha menjelaskan. Menghela nafas pelan,

“lagipula, bukannya kak Rey juga sering mratiin kamu? Kalau saling suka, tanpa masuk Mading pun, kalian tetep bisa jadian, kan?” Thira terus bicara. Berharap hati Lea segera luluh.

“Oh ya Lea, kalau kamu maksa masuk Mading, kesannya kamu yang ngejar-ngejar kak Rey. Masak seorang Lea ngejar-ngejar cowok?”

Lea menatap Thira. Dalam hati, dia membenarkan kalimat sahabatnya barusan.

“Kamu bener, Thira. Maaf ya, aku tadi emosi.” Lea akhirnya bersuara. Mereka berbaikan.
**

“Sekarang aku beneran yakin kalau kak Rey suka sama aku.” Lea berseru senang.

“Buktinya?”

“Bukti apa lagi, Thira...? Kak Rey selalu nyuri pandang dan mratiin aku. Senyum tiap kali aku lewat di hadapannya. Dan tadi, kak Rey lari ngejar bus sekolah yang aku tumpangi. Romantis bangeeet!” Lea bersemangat menjelaskan. Thira hanya manggut-manggut.

“Tapi bisa aja kan yang diperhatiin itu cewek di sebelahmu. Terus, kak Rey memang ramah. Pasti akan senyum ke semua orang. Dan ngejar bus, kali aja ada sesuatu yang mau dia titipin.” Thira menjelaskan kemungkinan-kemungkinan. Lea merengut mendengarnya.

“Thira… nggak bisa liat orang seneng deh. Cewek di sebelahku itu cuma kamu. Nggak mungkin kan kak Rey suka sama cewek cuek kayak kamu. Kalau pun suka, dia pasti udah ungkapin perasaannya. Kalian kan sama-sama anak Mading. Terus kalau nggak suka sama aku, mana mungkin kak Rey sampai segitunya ngejar bus!” Lea sedikit emosi.

“Iya deh... kak Rey suka sama kamu. Jangan cemberut gitu dong.” Thira melempar bantal tepat di wajah Lea.

Thira mengambil sebuah novel dari rak buku. Mulai membacanya. Walau terkesan cuek, Thira selalu peduli dengan kamarnya. Tak pernah lupa membersihkan tiap bagian di dalam kamar itu, merapikan buku-buku koleksinya. Kamar Thira sederhana, hanya ada sebuah tempat tidur besar, meja belajar, lemari dan rak buku yang dipenuhi berbagai macam bacaan.

Thira sudah larut dalam cerita novel di tangannya. Baginya “Rembulan Tenggelam di Wajahmu” sangat menakjubkan. Novel dengan plot yang luar biasa hebat. Lea sudah berhenti mengoceh dari tadi. Dia sibuk dengan imajinasinya tentang kak Rey. Juga surat bersampul biru. Lea penasaran membukanya.

“Thira, suratnya aku buka, ya?”

“mmm… ya,” Thira menjawab singkat.

Lea segera membuka sampul surat itu. Membacanya.

“Thira, baca deh. Dia ngajakin kamu ketemuan besok.” Lea menyodorkan surat itu. Thira dengan malas membacanya.

Besok pukul dua, aku menunggumu di taman sekolah. Kuharap kamu datang.


Petikan surat itu tak begitu menarik perhatian Thira. Dia kembali menenggelamkan dirinya dalam novel. Lea tak habis pikir, bagaimana mungkin sahabatnya itu begitu cuek dengan surat-surat misterius tanpa identitas yang selama ini diterimanya. Aku aja penasaran. Gumam Lea.

“Kamu nggak penasaran dengan pengirim surat itu?” Lea menyelidik.

“Besok kan mau ketemu.” Thira menjawab santai.

Lea berpikir keras. Sepertinya dia tahu siapa sosok misterius itu. Rian, ya… Rian.

“Pengirim itu pasti si ketos.” Lea nyeletuk.

“Tahu darimana?” Thira sebenarnya menduga hal sama. Tapi tak cukup yakin, tak ada bukti yang menguatkannya.

“Hmm… selama ini kan si ketos perhatian banget sama kamu.”

“Tapi…”

Hape Thira dan Lea berdering bersamaan. Sebuah pesan masuk, menghentikan percakapan mereka. Terdiam cukup lama, akhirnya Lea berteriak senang. Besok pukul dua, kak Rey mengajaknya bertemu di depan gerbang sekolah.

Thira memikirkan banyak hal. Kak Rian, sejak kapan berubah romantis? Surat-surat itu, apa benar darinya? Tapi pesan barusan menjelaskan semuanya. Sama seperti isi surat itu, besok kak Rian ingin bertemu di taman sekolah.

“Horeee… Lea dan Thira nggak jomblo lagi.” Lea melonjak girang. Thira hanya tersenyum dan memikirkan kemungkinan jawaban yang bisa diberikannya besok.
**

Sepanjang hari Lea tak lelah memasang senyum termanisnya. Hatinya bahagia. Dia tak sabar menunggu pukul dua. Tak sabar bertemu kak Rey dan mendengar pengakuannya.

Thira gelisah. Hari ini dia sulit menutupi perasaannya yang tak biasa. Baru kali ini. Ya, baru kali ini rasa itu muncul begitu saja. Kak Rian, ketua OSIS yang begitu perhatian, baik, cerdas, dan juga tampan, sepertinya mampu meluluhkan hatinya. Tapi komitmen itu… Thira menarik napas dalam-dalam.

Pukul dua. Sekolah sudah lengang. Lea dan Thira menuju taman sekolah. Di sana terlihat kak Rian menunggu. Jantung Thira berdegup tak beraturan, berbeda dari biasa. Entah apa yang akan dikatakannya nanti. Menerima kak Rian? Atau mempertahankan komitmennya? Thira benar-benar pening.

Lea tidak bisa menemani Thira lama-lama. Dia juga punya janji, bertemu kak Rey. Lagi-lagi Lea tak berhenti tersenyum. Sebentar lagi khayalannya akan menjadi kenyataan. Dia dan kak Rey beberapa menit lagi resmi pacaran.

Kak Rey sudah menunggu. Tersenyum melihat Lea datang. Beberapa menit mereka saling pandang. Kak Rey mengajak Lea duduk di bawah pohon dekat gerbang sekolah.

“Lea… sebenernya ada sesuatu yang mau aku omongin,” Rey menarik napas dalam-dalam.

“Ngomong aja, Kak.” Lea tersenyum hangat. Dia tak sabar menunggu kata-kata itu. Sebentar lagi Tuhan… sebentar lagi kak Rey menjadi pacarku. Batinnya senang.

“Sebenernya aku mau minta tolong,” Rey melanjutkan kalimatnya.

“Minta tolong?” Lea tak mengerti.

“Aku… aku… mau minta tolong untuk… untuk…” Rey menarik napas, sulit sekali mengucapkannya. “Begini, aku suka sama Thira. Aku mau minta tolong, supaya kamu jadi penghubung di antara kami,” Rey diam sebentar.

“Kemarin aku ngejar kamu untuk nyampaiin ini, tapi sayang busnya udah jalan.” Rey tersenyum. Diam beberapa jeda. “Sebenernya, dalam surat, aku ngajakin Thira ketemu hari ini di taman. Tapi ternyata, Rian lebih dulu menghubunginya.” Rey kembali menjelaskan.

Lea terpaku. Tak bicara sepatah kata pun. Tangisnya ingin tumpah. Hatinya sakit bukan main. Ternyata apa yang dia bayangkan jauh berbeda dengan apa yang dialaminya hari ini. Kepalanya pening.

“Jadi surat-surat itu…” Lea memaksa dirinya bicara.

“Iya. Selama ini aku yang ngirim surat-surat bersampul biru itu. Tapi Thira selalu aja cuek.” Rey mendengus pelan.

“Maaf Kak, aku harus pergi sekarang.” Lea meninggalkan Rey begitu saja. Dia tak lagi kuat menahan hatinya yang hancur berantakan. Patah. Tangisnya tumpah. Rey bingung dengan apa yang terjadi.

Bukan hanya Lea yang terluka, patah hati. Rian dan Rey juga. Thira tetap bertahan pada komitmennya.

***


You Might Also Like

20 komentar

  1. suka cerita yg sedih nhi kyknya. .. ~_~ tp ada pelajaran didalamnya di' .. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... hikmahnya, jangan terlalu cepat GR. wakakak :D

      Hapus
  2. Cerpennya bagus mbak dikpa, endingnya sedih :). mau nanya, apakah di majalah gadis ada pemberitahuan pemuatan cerpen dari email atau nomor kontak sebelum terbit? Trims.

    BalasHapus
  3. Terima kasih mas Agung sudah mampir. Iya, ada. Sebelum dimuat, ada pemberitahuan dari redaksi. :)

    BalasHapus
  4. Kirim langsung ke emailnya; redaksi.gadis@feminagroup.com :)

    BalasHapus

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger