Biru yang Hilang #2, Oleh: Dikpa Sativa

Selasa, Juli 09, 2013

Usia Lathifah memasuki duapuluh delapan tahun. Dan Ibunya, empat puluh empat tahun. Rentang yang tidak begitu jauh. Jika disandingkan pun, wajah Ibunya tidak kalah muda. Lebih cantik malah. Dulu, Ibunya memang menikah muda. Pernikahan dini. Usianya baru lima belas tahun ketika ia harus bersanding di pelaminan. Ibunya pernah bercerita perihal pernikahannya itu. Dan saat Ibunya bercerita, khayalan Lathifah melesat jauh ke dalam sinetron di tivi-tivi. Pernikahan berjarak. Pernikahan tak direstui. Pernikahan yang tidak disangka dan tiba-tiba.

Saat Ibunya berusia belasan tahun, Bone-Bone belum semaju ini. Belum ada listrik. Belum banyak rumah didirikan. Bone-Bone masih berupa deretan sawah dan kebun. Masih banyak tanah kosong tak berpemilik. Saat itu, anak-anak seusia Ibunya, jarang yang sekolah. Paling tinggi tamat sekolah dasar. Setelah itu, anak perempuan akan mempersiapkan dirinya untuk menerima pinangan. Sedang yang laki-laki, sebagian besar akan turun ke sawah atau kebun untuk membantu orang tua mereka.

Ibunya perempuan yang cerdas. Keinginannya untuk sekolah menggebu luar biasa. Tapi, apalah arti sekolah bagi orang tuanya. Pintar baca tulis saja sudah untung. Dan, akhirnya niat itu pupus begitu saja. Tapi tidak, seorang guru berhati malaikat membantunya meneruskan cita-cita itu. Seorang guru yang kelak menjadi suaminya. Menjadi bapak bagi anak-anaknya.

“Sudah delapan tahun bapakmu pergi,” Ibunya mendesah memecah senyap.

“Bapak sudah tenang di sana, Bu.” Lathifah mendekap lengan Ibunya. Berusaha menenangkan. Walau sebenarnya kerinduan yang sama mengentak-entak hatinya.

“Cinta memang tak tertebak. Penuh misteri. Orang yang dulunya tidak Ibu cintai, ternyata menjadi orang yang paling Ibu rindukan dan tak terlupakan. Kau tahu, Nak, cinta bisa datang kapan saja atas kehendakNya.”

Lathifah bergeming. Dia paham betul dengan kalimat yang meluncur dari bibir ibunya barusan. Cinta yang tak tertebak kapan datang dan berseminya. Kisah itu, kisah cinta ibunya, adalah kisah yang menurutnya mirip dengan sinetron-sinetron yang kerap tayang di tivi.

Dulu, guru yang menyekolahkan ibunya, akhirnya jatuh cinta. Padahal lelaki itu telah memiliki kekasih. Begitu pun ibunya. Cinta itu tiba-tiba muncul dan bersemi di hati pak guru itu karena melihat perempuan yang ia sekolahkan begitu menyayangi orang tuanya.

“Jadi… Ibu meninggalkan kekasih Ibu dan memutuskan menikah dengan Bapak?” Lathifah menatap mata Ibunya yang mulai berkaca-kaca mengenang kisah itu. Dia ingin mendengar bagaimana perasaan ibunya yang sebenarnya.

“Waktu itu Ibu mencintai kekasih Ibu,” ibunya tersenyum tipis dan memusatkan pandangan ke sebuah foto. Seperti mengenang sesuatu. Menghela napas pelan, “Tapi Bapakmu tiba-tiba datang melamar Ibu.”

Lathifah meluruskan pandangannya ke benda segi empat bergambar di hadapannya. Dia mengecilkan suara siaran sampai nyaris tak terdengar. Matanya sesekali dipejamkan lalu ia menarik napas dalam-dalam. Hatinya berdoa agar pembicaraan ini tidak mengarah ke pertanyaan yang menyesakkan dadanya. Walau sudah hapal betul, dia kembali bertanya, “Kalau Ibu mencintai laki-laki itu, kenapa menerima Bapak?”

Ibunya tersenyum hangat. Sudah ribuan kali pertanyaan serupa dia dengar. Dulu, tak ada yang memaksanya menikah. Tak ada yang memaksanya menerima lamaran laki-laki itu. Sambil menyesap teh yang tinggal setengah, ibunya melesat ke memori berpuluh tahun lalu. Berkubang dalam kenangan, “Karena Bapakmu adalah jodoh Ibu.”

Bagian ini yang tidak dimengerti Lathifah. Ada banyak pertanyaan menyerang kepalanya. Apa ini berarti Ibu berkhianat? Merasa bapak adalah jodohnya lalu meninggalkan kekasihnya, bukankah itu keputusan sepihak yang menyakitkan? Kenapa ibu setega itu? Dan, masih banyak pertanyaan lain. Dia memperbaiki posisi duduknya. Menaikkan dan menyelonjorkan kakinya di atas sofa.

“Ibu tidak meninggalkan laki-laki itu begitu saja.” Lathifah menoleh. Tatapannya heran. Ibunya seperti bisa membaca pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya.

Ibunya menghela napas. Mulai menceritakan kenangan yang sudah mengabur itu. Jika ditulis di atas kertas, pasti kertas-kertas itu kini telah berwarna kuning kusam dan dimakan rayap. Dia menatap anak gadis satu-satunya sendu, “Ibu memberinya waktu satu bulan sebelum Ibu benar-benar menjawab lamaran Bapakmu…”

“Dan, dia tidak datang sampai Ibu akhirnya menerima lamaran Bapak? Tapi Ibu tidak mencintai Bapak, kan? Atau… karena Ibu merasa berhutang budi?” Lathifah memotong penasaran. Memberondong Ibunya dengan pertanyaan.

Ibunya lagi-lagi hanya tersenyum. Membiarkan putrinya penasaran dengan seribu pertanyaan. Dia kemudian mengangkat wajahnya. Menatap lekat mata Lathifah.

“Kan, Ibu sudah bilang, karena Bapakmu adalah jodoh Ibu.” Ibunya memperbaiki posisi duduk, menyelonjorkan kaki, lalu melanjutkan kalimatnya, “Apa yang kita sukai dan cintai belum tentu yang terbaik untuk kita. Allah pasti memberikan yang tepat untuk kita. Ah, kamu lebih ahli dan lebih tahu, Fah, soal itu.”

Lathifah bergeming. Ada desiran yang sulit ia jelaskan memenuhi rongga dadanya. Ah, Ibu, benar-benar perempuan yang ikhlas dengan takdir-Nya.

**
Bersambung...

You Might Also Like

0 komentar

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger