Biru yang Hilang #1, Oleh: Dikpa Sativa
Selasa, Juli 09, 2013
Malam merayap pelan.
Detak jam dinding dan udara malam yang dingin makin terasa. Sebenarnya
baru pukul sepuluh. Tapi, semua hiruk pikuk kehidupan seperti tersedot
dalam pekat. Di sini, bukan kota semisal Makassar, Jakarta, Bandung
atau sejenisnya yang bisa menyulap malam seperti siang. Di sini, malam
merangkak lebih cepat. Dan pada pukul sepuluh seperti ini, kalian
hanya bisa mendengar suara jangkrik yang mencari pasangannya atau
kodok yang ribut karena musim kawin telah tiba. Desah angin dan
gemerisik daun juga sesekali singgah melengkapi.
Tapi jangan pikir bahwa kampung ini adalah kampung yang tertinggal. Di sini hampir semua rumah terang karena lampu-lampu listrik. Rumah-rumah sederhana layak huni berjajar dengan rapi. Di sini, kalian juga dengan mudah menemukan warung-warung internet (warnet), warung kopi, minimarket, sekolah yang terbilang keren dan maju, masjid-masjid yang besar, juga pasar yang buka setiap hari. Hanya, pada pukul sepuluh malam, kalian tak akan menemukan hingar bingar di sini. Itu saja.
Bone-Bone. Itulah nama kampung Lathifah. Letaknya di ujung Luwu Utara—sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan. Jika melewati sebuah tugu selamat jalan di ujung kampung itu, maka sampailah kalian di Luwu Timur, tempat kota Sorowako yang terkenal dengan pertambangan nikelnya.
Lathifah membereskan buku-buku yang baru saja selesai dia baca. Menyimpannya kembali di tempat semula. Di rumahnya yang sederhana, tepat di samping kamar, ada sebuah perpustakaan kecil. Di sana, dia menyusun buku-buku koleksinya semenarik dan serapi mungkin. Lathifah memang suka membaca. Tergila-gila malah. Dan di perpustakaan itu, dia sering menumpahkan seluruh lelahnya setelah seharian beraktivitas.
Lathifah melangkah keluar menuju dapur. Membuat secangkir teh untuk bekal begadangnya malam ini. Ada banyak hal yang harus dia selesaikan. Soal-soal untuk ujian siswanya besok, kurikulum baru untuk gebrakan gemar membaca “Rumah Bastra MariAsri”. Dan, kalau sempat dia juga berencana memeriksa laporan keuangan “Toserba MariAsri”.
Langkahnya terhenti ketika melihat lampu di ruang tengah masih menyala. Pasti ibu. Siapa lagi. Di rumah ini memang hanya dihuni oleh dia dan ibu. Adiknya sekarang ini tengah menyelesaikan kuliahnya di Makassar. Kakak? Lathifah adalah anak sulung. Bapak? Dia selalu saja merasakan sesak tiap kali menjawab pertanyaan ini. Bapaknya telah berpulang ke pangkuan-Nya bertahun-tahun lalu. Lathifah berbalik arah. Menghampiri Ibunya.
“Kok belum tidur, Bu?” Lathifah bertanya pelan dan santun sambil menghambur ke sisi Ibunya.
Ibunya mengusap kepalanya dan lembut berkata, “belum ngantuk.” Lathifah kembali berdiri. Mungkin segelas teh hangat akan menyempurnakan kebersamaan mereka.
“Lathifah buatkan teh ya, Bu!” Ibunya hanya mengangguk dan tersenyum.
Lathifah melangkah ke dapur dengan pikiran macam-macam. Mungkin Ibunya sedang memikirkan masa depan dirinya. Lathifah menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. Seorang anak gadis yang tak kunjung menikah memang seringkali menjadi beban tersendiri bagi orang tua.
Lathifah datang dengan dua cangkir teh hangat. Ibunya sedang asyik duduk di sofa dengan tangan memegang remote tivi. Menggonta-ganti siaran. Dia tahu, Ibunya tidak fokus dengan apa yang ada dalam benda segi empat itu. Pikirannya di tempat lain.
“Ibu kenapa? Ada masalah?” tanyanya pelan.
Dia lalu menaruh dua gelas teh itu di atas meja dan menjatuhkan tubuhnya di sisi Ibunya. Lagi-lagi Ibunya hanya tersenyum. Dia berpikir, mungkin ada perihal-perihal yang berkecamuk dalam kepala Ibunya. Dan, mungkin, itu tentang dirinya yang tak kunjung menikah.
Lathifah berusaha menghangatkan suasana dengan menyodorkan gelas berisi teh hangat itu, “Minum dulu, Bu! Keburu dingin.”
Ibunya meraih gelas itu dengan jemarinya yang masih lentik, lalu menyesapnya perlahan.
**
Bersambung...
Tapi jangan pikir bahwa kampung ini adalah kampung yang tertinggal. Di sini hampir semua rumah terang karena lampu-lampu listrik. Rumah-rumah sederhana layak huni berjajar dengan rapi. Di sini, kalian juga dengan mudah menemukan warung-warung internet (warnet), warung kopi, minimarket, sekolah yang terbilang keren dan maju, masjid-masjid yang besar, juga pasar yang buka setiap hari. Hanya, pada pukul sepuluh malam, kalian tak akan menemukan hingar bingar di sini. Itu saja.
Bone-Bone. Itulah nama kampung Lathifah. Letaknya di ujung Luwu Utara—sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan. Jika melewati sebuah tugu selamat jalan di ujung kampung itu, maka sampailah kalian di Luwu Timur, tempat kota Sorowako yang terkenal dengan pertambangan nikelnya.
Lathifah membereskan buku-buku yang baru saja selesai dia baca. Menyimpannya kembali di tempat semula. Di rumahnya yang sederhana, tepat di samping kamar, ada sebuah perpustakaan kecil. Di sana, dia menyusun buku-buku koleksinya semenarik dan serapi mungkin. Lathifah memang suka membaca. Tergila-gila malah. Dan di perpustakaan itu, dia sering menumpahkan seluruh lelahnya setelah seharian beraktivitas.
Lathifah melangkah keluar menuju dapur. Membuat secangkir teh untuk bekal begadangnya malam ini. Ada banyak hal yang harus dia selesaikan. Soal-soal untuk ujian siswanya besok, kurikulum baru untuk gebrakan gemar membaca “Rumah Bastra MariAsri”. Dan, kalau sempat dia juga berencana memeriksa laporan keuangan “Toserba MariAsri”.
Langkahnya terhenti ketika melihat lampu di ruang tengah masih menyala. Pasti ibu. Siapa lagi. Di rumah ini memang hanya dihuni oleh dia dan ibu. Adiknya sekarang ini tengah menyelesaikan kuliahnya di Makassar. Kakak? Lathifah adalah anak sulung. Bapak? Dia selalu saja merasakan sesak tiap kali menjawab pertanyaan ini. Bapaknya telah berpulang ke pangkuan-Nya bertahun-tahun lalu. Lathifah berbalik arah. Menghampiri Ibunya.
“Kok belum tidur, Bu?” Lathifah bertanya pelan dan santun sambil menghambur ke sisi Ibunya.
Ibunya mengusap kepalanya dan lembut berkata, “belum ngantuk.” Lathifah kembali berdiri. Mungkin segelas teh hangat akan menyempurnakan kebersamaan mereka.
“Lathifah buatkan teh ya, Bu!” Ibunya hanya mengangguk dan tersenyum.
Lathifah melangkah ke dapur dengan pikiran macam-macam. Mungkin Ibunya sedang memikirkan masa depan dirinya. Lathifah menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. Seorang anak gadis yang tak kunjung menikah memang seringkali menjadi beban tersendiri bagi orang tua.
Lathifah datang dengan dua cangkir teh hangat. Ibunya sedang asyik duduk di sofa dengan tangan memegang remote tivi. Menggonta-ganti siaran. Dia tahu, Ibunya tidak fokus dengan apa yang ada dalam benda segi empat itu. Pikirannya di tempat lain.
“Ibu kenapa? Ada masalah?” tanyanya pelan.
Dia lalu menaruh dua gelas teh itu di atas meja dan menjatuhkan tubuhnya di sisi Ibunya. Lagi-lagi Ibunya hanya tersenyum. Dia berpikir, mungkin ada perihal-perihal yang berkecamuk dalam kepala Ibunya. Dan, mungkin, itu tentang dirinya yang tak kunjung menikah.
Lathifah berusaha menghangatkan suasana dengan menyodorkan gelas berisi teh hangat itu, “Minum dulu, Bu! Keburu dingin.”
Ibunya meraih gelas itu dengan jemarinya yang masih lentik, lalu menyesapnya perlahan.
**
Bersambung...
0 komentar