Hilang (Harian FAJAR, 12 April 2015)
Kamis, Mei 07, 2015
Di
tempat ini, kaki-kaki kecil dengan suara memekik riang hadir saban pagi dan
sore. Kalau malam datang di sekitaran tanggal limabelas, tempat ini akan
berwajah lebih indah. Serupa cermin besar berlimpah cahaya bulan. Di sinilah
tempat pergi—pulang matahari yang mengandung candu. Mengundang datang, lagi dan
lagi.
Kakek
bernama Mangawing itu duduk di bangku semen paling depan, berdekatan dengan tulisan
yang memakai huruf besar-besar berbaca PANTAI LOSARI. Dia akhirnya memilih
tempat itu setelah pusing berputar-putar, mengelilingi pinggiran pantai yang
lantainya masih panas karena sengatan matahari. Juga pening karena melihat
orang-orang menyemut dan seperti ditumpahkan di satu titik. Di situ saja. Barangkali
pikunnya makin akut, lupa mengira-ngira jumlah penduduk di kota ini, yang makin
tahun makin banyak saja.
Mulanya daeng
Mangawing (begitu orang-orang memanggilnya) ke sini untuk melepas rindu.
Memunguti kenangan-kenangan masa mudanya dulu. Tentang Nipati, cinta pertamanya
yang gagal karena waktu itu dia masih miskin, tak menyanggupi uang panai’. Juga tentang kapal-kapal yang
hilir mudik dan angin pantai yang membuat daun-daun kelapa yang seperti
tangan-tangan raksasa itu melambai-lambai. Dan yang paling lekat di kepalanya,
cahaya bulan yang melimpahi bibir pantai setiap tanggal limabelas.
“Manisan, Pak,”
Seorang anak
kecil berwajah jelaga mengagetkan daeng Mangawing. Kakek berusia 80-an itu
hanya membagi senyum dan melambaikan tangan.
“Edede … beli mi satu, Pak. Pasti banyak ji
uang ta’ to? Bagi-bagi rezeki dulu,
Pak!”
Anak itu merajuk
dengan logat Makassar yang kental sekali. Tubuhnya kumal dan bajunya berbau
seperti cuka. Sang kakek, meski tak bisa sembarang makan, akhirnya membeli
beberapa bungkus manisan. Uangnya dilebihkan dan dia tak lupa berpesan agar si
anak rajin-rajin belajar.
Nasihat itu
sepertinya berlalu saja di telinga anak itu. Dia cuma berbinar memandangi uang
yang sekarang ada di genggamannya. Lalu berlari jauh dan sejurusan mata,
terlihatlah samar wajahnya yang kembali merajuk pada pengunjung lain.
Si kakek menimbun kekhawatiran dalam dadanya dan akhirnya bergumam-gumam. Di dunia ini, sebetulnya, hal paling utama
yang mesti diajarkan adalah mental yang baik.
Pukul setengah
enam. Langit kemerahan tapi tak lagi memantul-mantul di air seperti dulu. Angin
pantai berubah bau busuk, menyiksa hidung. Sunset
punya saingan sekarang. Lampu-lampu yang seperti disebar hampir di setiap sudut kota. Berbelas tahun ikut
tinggal bersama anak bungsunya di kota lain menjadikan daeng Mangawing
kehilangan kotanya sendiri.
Di
kejauhan sebuah mobil berwarna hitam berhenti. Tangan kekar bersih berjam mahal
melambai-lambai dari dalam. Memberi isyarat. Menyuruh daeng Mangawing cepat
pulang.
**
“Jelas
mi, Pak. Sekarang sudah tahun berapa.
Makassar menuju kota dunia. Menuju peradaban lebih canggih. Hahaha.”
Kalimat
dan tawa itu meluncur saja dengan bebas dari mulut orang bertangan kekar bersih
berjam mahal di mobil itu ketika bapaknya, daeng Mangawing, mengoceh soal
betapa rindunya dia dengan kotanya dulu.
“Kalau
mau lebih sunyi, ke sananya jangan akhir pekan,” bernapas sebentar, orang itu
menambahkan, “tapi ya begitu mi, Pak.
Kalau hari kerja, saya tidak bisa antar. Nanti biar pak Woko yang antar ki’.”
Kakek
itu membenarkan juga. Dalam hati, dia bilang, akan berkunjung lagi di hari
lain. Tak apalah meski anak pertamanya yang kelihatannya sangat sibuk itu tidak
bisa mengantar. Toh, ini kampungnya. Tidak mungkin tersesat di kampung sendiri.
**
Hari
rabunya daeng Mangawing datang lagi. Juga, sendiri lagi. Dan di tempat itu
lagi. Duduk memandangi air laut yang menghitam dan bangungan-bangunan baru. Duduk di sebuah
bangku yang masih berdekatan dengan tulisan berhuruf besar-besar berbaca PANTAI
LOSARI.
Akhir-akhir
ini, sebetulnya, penglihatannya makin menurun. Orang-orang, di matanya, seperti
punya bayangan lebih. Namun ia diam saja. Sengaja tak mau membebani pikiran
anaknya yang sibuk sekali mengurusi proyek ini-itu dengan hal semacam ini.
Dia
meluruskan kaki dan melepas kacamatanya yang mulai diisi banyak debu.
Mengelapnya berulang-ulang, lalu memakainya lagi. Sayangnya, berapa kali pun
kacamata itu dilap, tidak akan mengembalikan apa-apa yang dirindukannya.
Semuanya sudah menguap. Hilang. Yang tersisa hanya sedikit ingatan yang makin
lama makin menajamkan rindu. Sedikit menyiksa.
Daeng
Mangawing melepas kacamatanya lagi. Ada yang salah. Bayangan orang-orang itu,
yang menyemut dan berkumpul-berjejer sepanjang pantai, tidak hanya terlihat
berlebih sekarang. Bukan cuma menjadi dua atau tiga atau empat seperti
kemarin-kemarin, tapi juga bergambar. Di dalam kepala dan perut mereka muncul
banyak sekali gambar. Rata-rata bermodel rupiah, mobil dan rumah-rumah mewah.
Kakek
itu menduga, kemungkinan dirinya terlewat lelah hingga penglihatannya
sedemikian parah. Dihubunginya supir anaknya. Dia ingin segera pulang dan melupakan
kerinduannya sebentar.
**
Sampai
di rumah, ternyata ramai orang-orang. Teman-teman anaknya, begitu jelas Suti,
pembantu di rumah itu. Penglihatannya belum pulih. Matanya masih menangkap
lebih dari biasanya. Gambar-gambar yang terlalu banyak dan macam-macam. Olehnya
itu, daeng Mangawing hanya melempar senyum pada tetamu di situ. Menyapa
sedikit, lalu beranjak ke kamar.
Matanya
mulai memejam. Pikirannya berusaha ditenangkan dengan mengingat-ingat hal-hal
yang dia sukai. Bersama istri—yang telah pergi ke atas dan tak akan pernah
pulang, juga anak-anaknya yang waktu itu masih kecil-kecil. Rumah sederhana
pinggir pantai dengan angin-angin pohon kelapa yang mendinginkan kuping.
Belum
sempurna hilang kesadarannya ketika anak pertamanya masuk. Mukanya lebih cerah.
Dan sisa tawa di giginya masih sedikit kelihatan.
“Bapak
memang harus banyak-banyak istirahat.”
Daeng
Mangawing membuka mata. Lalu menutupnya lagi. Beberapa jenak, dibukanya lagi.
Sekarang dia bertambah pening dan ingin tidur saja. Penglihatannya betul-betul
makin buruk. Atau, tanpa dia sadari, itu pertanda. Di perut dan kepala anaknya
sendiri, dia juga melihat banyak gambar. Dan yang membuatnya terkejut, gambar
itu adalah apa-apa yang dirindukannya. Sebuah pantai dengan kelapa-kelapa dan
bulan penuh dan ikan-ikan dan banyak lagi.
“Bapak
tidur mi. Saya masih ada rapat.”
Pintu
tertutup. Daeng Mangawing berusaha memejam.
Di
luar, orang-orang ribut membicarakan bangunan baru pinggir pantai.
***
Penulis bergiat di Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan (FLP Sulsel).
2 komentar
cerpennya bagus
BalasHapusTerima kasih Mbak sudah berkunjung. :) :)
Hapus