AYAH, Sepanjang Ingatan
Minggu, Mei 01, 2016
My Lovely Dad. Foto ketika sakit.
Hanya ada satu-dua foto tersimpan.
Lainnya entah kemana. Sekarang saya menyimpulkan kalau keluarga kecil ini tak
cukup baik menyimpan sesuatu semacam itu. Atau ... dikarenakan keadaan? Pindah
rumah beberapa kali mungkin menjadi sebab foto-foto itu berpencar entah dimana.
Tapi Ayah (yang saya panggil Etta), bukan hanya gambar dalam kertas. Etta,
tersimpan di sini, di hati dan kepala. Sepanjang ingatan.
**
Di kosan yang sedikit gerah dengan
tas-tas pakaian di sudut ruangan, saya menelepon. Dan, sedang sangat bahagia.
“Saya ditugasi menyusun naskah untuk
drama teman-teman jurusan, Ta,” saya
mengucapkan itu dengan riang.
Tas-tas pengganti lemari itu saya
pandangi lekat-lekat. Meski, tentu saja, pikiran saya tidak di sana. Di
seberang, Etta bergumam. Bahagia sekali. Bahkan, meski tak melihatnya, saya
tahu Etta mulai menangis terharu. Sudah sembilan tahun Etta kena stroke dan membuatnya tidak bisa bicara.
Siang ini, saya kabari begitu, Etta bahagia. Saya juga bahagia karena telah
membuatnya, setidaknya, tersenyum. Kebahagiaan itu mungkin karena masa-masa
muda Etta dulu seperti berulang. Mungkin sekarang semua kenangan itu berdesakan
di kepalanya.
“Ta, saya mau jadi penulis,” ucap saya
lagi.
“Bica
... bica ... ya ... bica.” Etta memaksakan diri bicara.
Suaranya serak. Sisa-sisa tangisnya masih kentara.
Penulis mungkin pernah menjadi
cita-cita Etta. Mungkin, saya hanya menduga. Dulu Etta pemain teater,
kadang-kadang melukis. Saya pernah bertemu teman-temannya yang menurut saya
waktu itu, sangat aneh dan menakutkan. Rambut gondrong, celana sobek-sobek di
lutut, baju kaus selalu berwarna gelap. Tapi, mereka baik, lucu dan semua
pintar main gitar. Kami beberapa kali ngobrol. Etta mengajak saya main ke tempat mereka kumpul-kumpul.
Etta pernah cerita, dulu, dia seperti
punya rumah dimana-mana. Ya, dimana saja. Teman-temannya itu selalu menerimanya
dengan baik. Dia hidup dari menjahit. Kadang-kadang dapat sedikit uang dari
pentas-pentas teaternya. Dia juga menulis puisi dan cerpen. Tulisan-tulisannya
itu masih sempat saya baca. Sayang, saya masih kecil dan tak punya pikiran
untuk menyimpannya. Entah dimana sekarang. Hilang.
Etta dipaksa pulang dan tentu saja
dia juga terpaksa meninggalkan dunianya itu.
Mau jadi seniman? Mau makan apa dari seniman? Penghasilannya tidak pasti,
tidak menjanjikan. Tidak punya masa depan.
Itu alasannya. Keluarga tidak terima.
Etta tertawa waktu menceritakan itu. Bone-Bone masih sangat kampung. Mana ada
yang berpikir kalau seniman atau penulis itu pekerjaan? Tidak punya masa depan.
Itu saja. Etta pulang dan akhirnya menjadi guru, PNS. Waktu itu dia belum
mengenal Mamak.
“Ta, sudah dulu di’. Saya mau ke kampus lagi.”
Telepon terputus.
**
Etta selalu bilang kalau dia cukup
terlambat. Dan, itu sebabnya dia teliti sekali memilih lokasi rumah. Katanya,
kalau misalnya dia tak mampu mengajarkan islam dengan baik pada anak-anaknya,
setidaknya lingkungan bisa membantu. Ya, yang selalu dikatakan Etta adalah
bahwa dia terlambat mempelajari Islam dengan baik.
Sumber inspirasi. Kepercayaan. Wujud
kasih sayang. Begitulah Etta di mata saya. Seseorang yang selalu pintar mencuri
hati anaknya saat bersedih atau putus
asa karena kesulitan mengerjakan PR dari sekolah. Yang selalu
duduk-duduk di bawah cahaya bulan sembari menceritakan banyak hal. Tentang
dirinya, masa mudanya. Tentang Ibu dan kenapa dia menikahinya. Juga, tentang Lapundarek, lelaki buruk rupa dan
teramat bau yang menjelma manusia tampan, sangat tampan, karena menikahi
seorang putri berhati halus dan berwajah jelita.
Selalu tersedia buku-buku cerita
untuk saya. Etta meminjamnya dari perpustakaan sekolah tempat dia mengajar.
Dari sana, saya jadi cinta membaca. Dan, perlahan menumbuhkan cita, kelak saya juga akan menulis buku.
**
Tumis kacang panjang campur jagung
manis saya tuang ke dalam mangkuk.
Setelah bosan dengan wajah kampus
yang begitu-begitu saja—kering dan kusam, juga dengan perkuliahan yang sambung
menyambung, akhirnya saya pulang dan masak. Mandi dan segera menyantap makanan
itu. Perut saya sudah bunyi.
Pernahkah pikiranmu menjengkali waktu? Tentu saja. Tapi, saya yakin bahwa
kenyataan selalu tak bisa kau raba bahkan untuk menit berikutnya.
Saya tidak jadi makan. Lapar sudah
menguap, terganti cemas yang bukan main hebatnya, melesap masuk ke hati. Saya harus
pulang. Sekarang.
Air mata berusaha saya tahan agar
tidak buru-buru tumpah. Saya harus mengejar bus keberangkatan malam ini. Saya
tekan beberapa nomor telepon yang kira-kira bisa mengantar saya ke terminal.
Syukurlah, kak Tobenk bisa.
Di luar gerimis tapi perjalanan tak
boleh berhenti. Saya dan kak Tobenk membelah jalan dengan kecepatan tinggi.
Hujan masih rintik tapi cukup membuat basah. Lampu-lampu kota berpendar dan
pecah di jalanan, di air tergenang. Saya mengusap wajah berkali-kali. Membersihkan
hujan yang menimpa wajah, sekaligus air mata yang diam-diam mengalir juga.
Tidak sanggup saya simpan lebih lama.
“Sudah dimana?” tanya le’ Mat di telepon. Le’ Mat juga yang tadi memberitahu saya agar segera pulang.
Katanya, Etta sakit keras.
“Di jalan. Menuju terminal.”
Percakapan itu tidak lama. Le’ Mat cuma berpesan agar saya
hati-hati. Dan, katanya lagi, Etta sudah membaik.
Perasaan saya sedikit lega. Sebanyak hujan,
sebanyak itu pula doa saya. Semoga besok saya mendapati wajah Etta yang
biasanya. Yang tertawa menyambut kepulangan saya dengan segelas kopi di
mejanya. Semoga.
**
#BERSAMBUNG
3 komentar
jadi inget almarhum bapakku mbak
BalasHapusjd ingat almarhum jg.. sakitnya jg sama..
BalasHapusjd ingat almarhum jg.. sakitnya jg sama..
BalasHapus