Hijrah Pertama Gena

Sabtu, Maret 19, 2016

Sebelum berangkat, Gena sempat pulas.

Di pinggir jalan trans Sulawesi, di bawah pohon entah apa namanya, akhirnya kami berteduh. Mobil tiba-tiba mogok. Dari awal saya memang sudah was-was. Mobil itu mobil tua dan punya riwayat soak tak terhitung jari.
Tiga Ibu dengan tiga anak. Masing-masing Ibu mengurusi satu anak. Ada saya, Mamak, dan tante Devi. Saya, tentu saja mengurusi Gena. Mamak mengurusi Dava, anak om Sugi yang akan diantar pulang ke rumahnya. Dan, tante Devi mengurusi Appink, anaknya. Ibu-ibu dengan anak-anak yang masih kecil, duduk menyebar di bawah pohon, seperti pengungsi yang menunggu jemputan datang.
Hari ini Gena tepat dua bulan. Dan hari ini, adalah kali pertama dia diajak pergi jauh. Ke rumah neneknya, Mamak Abinya. Abinya sendiri tadi naik motor. Tapi sudah ada di bengkel setelah ditelepon untuk kembali karena mobil mogok. Yang menyetir, Opu Appink.
Langit cerah. Matahari panas. Debu-debu beterbangan lalu melekati apa saja.
“Ibu ... ayo pulang! Lama sekali. Jalan kaki miki’, deh!” Appink mulai gelisah.
Lalu dengan suara menggemaskannya, Dava yang masih dua tahun, ikut-ikutan merajuk, “Mobinnya mana? Rusak? Aiii ... pulan ... pulan!”
Sudah pada tenang abis jajan
Sebelum ribut minta pulang, mereka sibuk berkelahi. Dava kelihatan ingin sekali bermain sementara Appink betul-betul badmood, sedang demam. Jadilah Dava sering bicara ini-itu, mengajak Appink melihat apa saja yang lewat di sekitarnya. Tertawa-tawa tepat di depan wajah Appink, cari-cari perhatian. Appink yang badannya makin panas ditambah gerah dan mungkin lapar, akhirnya marah-marah. Anak-anak ... mereka berkelahi dan berhenti setelah dilerai dan diajak jajan. 
Gena sendiri tidak rewel. Alhamdulillah. Dia anteng saja di pangkuan, minta susu, tertidur lalu ketika bangun, tetap saja tenang. Bergumam tidak jelas sambil tertawa kecil. Lucu dan cantik sekali.
Gena selalu anteng di pangkuan. Dan, tidur.
Tujuh jam menunggu dan akhirnya kami menyewa mobil lain. Mobilnya tidak kelar-kelar. Entah apanya yang rusak. Posisi kami di Masamba dengan tujuan Bone. Bayangkan, belum ada sepertiga perjalanan dan sudah menjelang maghrib, dengan membawa anak-anak kecil dan bayi usia dua bulan.
“Gena sayang ... betul-betul berjuang ke rumah neneknya,” kata Mamak sambil mengusap-usap kepala Gena. 
Ya. Dia, bayi mungil saya, memang mengalami hari yang tidak mudah saat ini. 
Saya menghela napas. Melapangkan perasaan. Meski gerah, saya berusaha menyenangkan pikiran dengan bercanda bersama Gena, memerhatikan kendaraan yang lewat, makan snack atau mengobrolkan apa saja. Juga, meresapi semilir angin serta awan abu-abu dan langit yang beranjak murung. Kebiasaan yang sudah cukup lama tidak saya lakukan. Kebiasaan yang membuat saya selalu ingat Dia, selalu damai.
Dan akhirnya Dava tertidur di atas meja tumpangan sekitaran situ. Hihi.

Sementara yang lain tetap enjoy menunggu.
Badan rasanya sudah lengket dan bau. Anak-anak tertidur. Gena juga. Hujan turun pelan-pelan bersama angin basah yang dingin. Mobil melaju ke arah Palopo dan rencananya, kami akan singgah di Belopa, di rumah om Sugi. Lalu istirahat sebentar di rumah Appink. 
Selama dalam mobil, leher saya agak lelah. Mungkin karena saya keseringan balik sana-balik sini, mencari-cari. Memerhatikan jalanan yang mengular panjang. Lalu menjadi sedikit khawatir kalau motor Abi tidak kelihatan. Apalagi cuaca sedang gelap begini. 
“Mi, saya ikut di mobil, ya. Rantai motornya rusak.” Abi memberi tahu tepat di lorong masuk rumah om Sugi. Kami berhenti untuk cari cemilan di warung dekat situ. 
Untung si Abi baru memberi tahu sekarang. Kalau dari tadi, saya tidak bisa bayangkan bagaimana senewennya saya. 
Rumah om Sugi berpisah dari kampung. Sebetulnya, ini bukan rumah hunian. Tapi, pondok tempat tinggal sementara. Om Sugi dan istrinya sedang menjaga tambak ikan yang lumayan luas. Beberapa minggu lalu, dia sakit dan akhirnya sekarang terlihat kurus. 
Kami tidak lama. Ngobrol pendek, makan kue dan langsung pulang. Motor Abi dititipkan dan dia ikut naik mobil. Saya lega. Itu tentu saja menghapus rasa khawatir saya. Naik motor dalam keadaan hujan, gelap pekat, dan dengan mata Abi yang tidak awas kalau malam adalah hal-hal yang bisa meningkatkan frekuensi kecemasan. 
“Bagus lah, jadi kan bisa gantian pangku Gena,” saya berkilah. Tersenyum tipis, padahal senang bukan main. 
Di rumah Appink, kami juga tidak terlalu lama. Tapi, cukup istirahat lah. Mandi, shalat, makan, leyeh-leyeh beberapa menit lalu berangkat lagi. Lima menit kurang pukul duabelas atau 00.00. 
Pinternya anak Abi. Sabar ... shalehah ....” Abi mengudang sambil menggendong Gena ke dalam mobil. 
Tak ada perubahan pada Gena. Tetap anteng meski udara makin dingin. Appink meneruskan tidurnya. Sementara Dava tak lagi ikut. 
Di luar perencanaan, begitulah yang terjadi. Awalnya “pulang kampung” ini direncanakan berjalan menyenangkan. Tentu saja. Setelah sekitaran delapan bulan tinggal di Bone-Bone, dengan pertimbangan ini-itu, kami memutuskan hijrah ke Bone. Dan, berangkat tepat tengah malam begini, ya ... karena mobilnya mogok. 
Makin malam, udara makin gigil, kantuk makin hebat menyerang. Dingin yang sampai mengilukan tulang itu, membuat saya takut. Takut kalau Gena tidak tahan dan kenapa-kenapa. 
“Mak .., Gena?” saya melongokkan kepala ke pangkuan Mamak. 
“Tidur. Nyenyak.” Jawab Mamak singkat. Sepertinya Mamak juga sedang ngantuk berat. 
Semua tidur. Kelelahan. Kecuali saya yang memang susah memejam. Sebentar-sebentar mengecek apakah Gena baik-baik saja. Dan, Opu Appink yang memang harus membetah-betahkan mata karena tujuan masih lumayan jauh. Sesekali dia memberhentikan mobil, turun, lalu meregangkan semua ototnya. 
Pukul empat, entah kurang atau lebih berapa menit, kami tiba. Orang-orang sudah menunggu dan menyambut dengan sukacita campur mengantuk. Kue-kue dan teh hangat dihidangkan. Tak berapa lama, makanan berat semacam nasi, ayam, acar, dan lainnya menyusul terhidang. Kami akhirnya makan setelah dipaksa dan merasa tidak enak menolak. Padahal, kantuk sudah tidak bisa kompromi. Setelahnya, barulah tidur dan bangun-bangun .., sudah pukul enam. 
Gena tetap anteng. Bangun paling awal dan bermain seperti biasa. 
“Tumbuh dan berbahagialah, Nak. Berjuang di jalan-Nya. Pegang teguh tali agama ini. Dan, selalu doakan kami.” Saya berbisik.
Pukul empat. Alhamdulillah ... akhirnya tiba. Dan Gena pulas kembali.
***

You Might Also Like

0 komentar

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger