Tenang Saja, oleh: Dikpa Lathifah
Minggu, Februari 21, 2016
Pada hari-hari tertentu, kampus
memang sepi. Terlebih di hari berhujan seperti ini. Mahasiswa pasti lebih
banyak melebarkan mata di depan gadget sambil tidur-tiduran. Kita ada janji
cukup penting. Menjadi penting karena bisa jadi ini jalan yang kita rapal dan
mintakan dalam doa. Ya, bisa jadi.
Gerimis menggantung di pohon-pohon,
belum sepenuhya cair dan meluruh lalu membasahi apa saja. Kau memacu motor,
tidak kencang karena perasaan kita terlalu macam-macam pagi ini. Banyak
kemungkinan-kemungkinan bersarang di kepala. Bagaimana kalau tiba-tiba ban
motor itu pecah di tengah jalan dan kita tak punya cukup uang lagi di kantong,
entah itu kantong baju atau kantong tas ransel yang kita bawa. Hanya ada bunyi
gemerincing dari beberapa uang logam pecahan duaratus rupiah dan selembar
limaribuan. Rencananya untuk bensin.
Awan menghitam. Di boncengan,
lenganku mengeratkan pelukan.
Kau kerap mencium keningku sebelum
nasi kau suapkan ke mulutmu. Lalu kita sama-sama tertawa. Kurasa orang-orang
perlu tahu bahwa tawa bisa menguatkan kaki.
“Baru sekarang kau makan beginian?”
tanyamu. Matamu melirik ke menu yang seharian itu, itu-itu saja.
Aku tersenyum. Tidak
menjawab apa-apa. Di waktu lain, aku sengaja menggodamu dengan bilang bahwa apa
pun itu aku akan bahagia asal bersamamu. Lalu kau menghujaniku dengan pelukan
atau menggelitikku. Lantas kita melepaskan tawa, lagi.
Hujan belum turun dan kita sudah
duduk berempat di gedung yang berhadapan danau serupa cermin besar di kampus beralmamater
merah itu. Pikiranku, tiap kali ke sini, selalu saja mengulang siaran dulu,
ketika kita belum menikah. Saat diam-diam asmaku kambuh dan kau—sewaktu
tahu—menjadi terlalu khawatir tapi bingung
mau melakukan apa karena kita bukan mahram.
Pembicaraan itu berlangsung
sebentar saja. Besok-besok akan ada pertemuan lebih panjang lagi dari ini. Kita
masih sama-sama menyimpan ingatan tentang doa kita di sepanjang shalat. Di
sana, terselip minta pada Allah, kita ingin membuka usaha kuliner. Jualan
makanan. Entah berapa hari selangnya, temanmu menghubungi, katanya dia butuh
partner kerja. Dia berencana buka usaha, mungkin kuliner. Ya, kita mesti lebih
memanjangkan doa agar Allah melancarkan semuanya.
Kita bergegas saat adzan zuhur masjid kampus
menerabas hingga ke kuping. Lagi, tiap motor yang kita pakai itu mulai
menggerung, cemas menyandera dadaku.
Ya
Allah … jangan, jangan dulu bannya dikempeskan.
Tapi tiap melihatmu tenang, aku merasa semua akan baik-baik saja.
“Semua mengajarkan kita tentang
syukur. Juga sabar.” Katamu selepas sholat. Wajahmu berlimpah cahaya dari
sela-sela pohon Jati yang banyak ditanam
di sekitaran masjid. Cuaca memang sedikit lebih
terang.
“Ya. Bukankah ini seru?” timpalku.
Tenang saja ... tenanglah, perempuan. Semua ada jalannya.
Dalam hati, berusaha
kukuatkan ikhlas dan sabar.
Cemasku mulai hilang. Aku pasrah saja
sekarang. Aku sudah siap misalnya di tengah siang begini kita terpaksa
menghabiskan banyak waktu untuk mendorong motor.
Dengan uang limaribu tadi, kita
singgah di pom bensin. Setidaknya, tak ada kekhawatiran motor itu bakal mogok
karena haus. Pikiranku lari ke rumah. Ke hari esok. Aih, mestinya tidak begitu. Buku-buku
soal kuasa Allah sudah kutamatkan. Harusnya aku tak perlu gelisah dengan
keadaan ini. Sabar
dan syukur mestilah terjaga
dalam wadah yang cukup dalam dada.
Aku lebih tenang.
Masih ada sambal untuk nanti kita
makan.
“ATM-nya dicek, ya!” pintamu
sembari menyodorkan sebuah kartu.
Tiba-tiba perasaan sedih
menderu-deru tapi kusembunyikan.
Aku diam saja dan mengangguk. Harapan apa yang bisa kita tanam di sana? Jelas
sekali kuingat bahwa ATM itu tak lagi bersaldo. Hanya limapuluh ribu, saldo
minimal yang tak bisa diambil. Memang ada yang kita tunggu tapi aku bahkan tak bisa lagi
menghitung berapa kali kita sudah mengecek dan sesuatu itu belum juga datang.
Awan berderak-derak. Berganti.
Abu-abu menjadi putih tulang. Aku menguatkan kaki berjalan ke ATM, sementara
kau masih sibuk mengantre, berjejal dengan motor lain.
Ban motor itu sungguh tidak kuat lagi bertahan. Begitu, kan? Kebutuhan ini-itu juga saling kejar. Kita doa saja, ikhtiar semampu kita. Pesanmu selalu. Mimpi, cita-cita besarlah yang bikin kita bertahan sebegini kuat. Ah, maksudku, Allah, melalui itu semua. Aku mematung sebentar lantas menarik napas menunggu informasi saldo. Dan ….
Rp
2.
259.300,
--
Kuulangi lagi mengecek.
Dan, saldonya masih sama.
Aku mengucap syukur, sekaligus
bingung.
Beberapa bulan sebelum ini, kita memang kehilangan saldo duaratus ribu, tapi itu sudah lama sekali dan tidak lagi kita harapkan kembali—berkali-kali dicek tak kunjung muncul. Dan hari ini, di saat kita butuh-butuhnya, uang itu pulang, bertambah dua juta. Entah darimana.
Kita menukar-nukar pandang. Lalu tertawa. Ah, Allah itu dekat sekali, paling tahu kita.
“Hidup kita mestilah serangkaian keseruan.” Ucapku yang lantas kau timpali tawa.
“Doa dan ikhtiar lagi. Sekolah, rumah baca, penerbitan, buku-buku, anak-anak sholih-sholihah sepertinya sudah dekat sekali.”
Matahari suam-suam kuku membungkus kota. Punggung kita hilang di tikungan jalan.
Beberapa hari
setelahnya, sebuah pesan masuk.
“Mbak, honor tulisannya
sudah diterima, kan?”
Ooo ... ternyata.
Allah paling tahu
kapan kita butuh.
***
Bone-Bone, 16
Nopember 2015. Di depan jendela dengan angin menerpa-nerpa.
*Terbit di harian AMANAH edisi 21 Nopember 2015
12 komentar
saya suka tulisan-tulisanta
BalasHapusoya kak,kalau di harian amanah itu ada pemberitahuan terbit atau tidaknya tulisan kita?
Syukron.
HapusKalau di harian Amanah ada pemberitahuan terbitnya. Terus dikirimi pdf cerpen terbitnya. Cuma belum ada honornya. Hehe. :-)
Ayo kirim juga. :)
pernah kirim, sudah lama. Tapi belum diterima. insyaAllah kapan-kapan sy coba kirim lagi.
HapusWah keren tulisan nya bisa masuk majalah, sukses ya mbak...
HapusWah keren tulisan nya bisa masuk majalah, sukses ya mbak...
HapusMarwah: Ayo coba kirim lagi. Semangat.
HapusMbak Murni: Alhamdulillah. Sukses juga mbak Murni.
Pemilihan diksinya menarik, sungguh saya suka :)
BalasHapusTerima kasih mas Akhmad sudah mampir. Jangan bosan-bosan untuk kembali. :)
HapusKadang kita yang susah untuk menangkap yang Allah kasih ya :D
BalasHapussaya suka ceritanya.
Iya, Mbak. Kembali lagi, kita mesti banyak syukur. Makasih Mbak udah mampir. :)
HapusKeren Mbak, udah banyak tulisannya di media ya?
BalasHapusOh ya salam kenal ya :D
Belum banyak kok, Mbak. Mesti lebih semangat ngejar. Hihi. Salam kenal juga, Mbak. :)
Hapus