Pilihan Hidup
Minggu, Desember 20, 2015
Senin, 03 Agustus 2015
Gelap merangkak pelan. Isya
usai dan kami menghabiskan waktu berikutnya dan berikutnya di meja makan.
Mengisi sepertiga perut dan mengobrolkan apa saja. Saya, suami, ibu dan
adik-adik.
Ada beberapa hal menarik
dalam bincang-bincang kali itu. Menyoal idealisme. Sebetulnya, di dunia ini,
untuk apa kita hidup? Dan cara apa yang mesti kita pakai untuk bertahan di
dunia yang makin lama rasa-rasanya makin tak “waras” ini?
Di sini—dan mungkin banyak
tempat, hasil pendidikan selalu saja dinilai dengan pekerjaan bagus, seragam pegawai
dan berapa jumlah gaji setiap bulan. Ah, tentu saja, tak semua beranggapan
begitu. Sepulang menimba ilmu jauh-jauh, mungkin, banyak yang kembali atau
merantau lalu mencari uang banyak-banyak. Ah, lagi-lagi, tentu saja ini tak
salah. Hanya ... jujur saja, saya merindukan orang-orang yang peka. Yang
peduli, dan yang betul-betul mencintai, juga mengabdi, pada apa-apa yang sudah
dipilih.
Apa saya demikian?
Entahlah. Memang butuh
waktu panjang dan mahal untuk sebuah titik perenungan. Kita terus belajar dan
belajar. Bergerak, meski sedikit-sedikit, melakukan apa yang bisa kita lakukan.
Di sebuah kampung lain, ada
kalimat yang mampir di kuping dan membuat saya tersentak. Dari seorang ibu.
“Di sini banyak sarjana
tapi juga banyak masjid-masjid kosong. Taman pendidikan Alqur’an mati suri.
Kegiatan untuk anak-anak dan remaja, apa lagi.”
Hei ... tidak ... tidak
.... Bukan maksud saya tendensius dan ingin bilang itu salahnya sarjana. Tentu
saja itu disebabkan banyak faktor dan banyak pihak. Bersyukurnya, di kampung saya lahir, tak ada hal semacam ini. Meski,
beberapa hal lain, memang, masih harus dipikirkan “yang terbaik”nya.
Ya ... orang-orang yang
pergi jauh untuk belajar, harapannya, ketika pulang, membawa sesuatu untuk
tempatnya lahir. Ilmu. Dan, tindakan. Setidaknya sedikit peduli dengan
masalah-masalah di sekitarnya. Atau ... setidak-tidaknya lagi, mengabdi dengan
penuh cinta pada apa yang mereka pilih. Semisal; menjadi guru, yang tak sekadar
mengajar lalu pulang tapi juga peduli, cinta, dan layak digugu serta ditiru
siswanya. Menjadi petugas kesehatan; yang ramah, yang cinta dan yang
mengabdikan diri sepenuhnya untuk menolong masyarakat yang sedang didera sakit,
bukan yang bekerja serampangan (ah ...
maaf, tentu saja tak banyak yang begini. Hanya, saya pernah mendapatinya).
Atau menjadi yang lain dan lainnya lagi. Intinya, betapa bagus kalau
orang-orang pintar itu pulang dan bekerja dengan “cinta”. Bukan sekadar
mengejar rupiah dan strata.
Saya sedang belajar. Kita
sama-sama belajar.
Saya dan beberapa teman
tengah mengusahakan sebuah komunitas baca. Hal yang sangat lumrah sebetulnya.
Di tempat lain, malah, dengan sangat mudah kita bisa menemukan bejibun serupa
ini. Hmm ... memulai di tempat yang masih
asing dengan yang beginian, ternyata berat-berat menantang. Hehe.
Pernah ada pertanyaan dari
seorang teman.
“Kamu dapat apa dari
aktivitas seperti itu?”
Pernah ada juga yang
berkomentar begini.
“Sudahlah ... kita tidak
mesti sibuk memikirkan masalah-masalah semacam itu. Kita saja, memang ada yang
mau pedulikan?”
Pernah juga ada yang
berseloroh ketika menawari sebuah bisnis,
“Sekarang itu kalau mau
lurus-lurus, susah. Mau jujur sendirian, mana bisa kita bertahan? Yang penting,
dompet dan perut terisi.”
Ahh ... meski cuma seloroh, saya sungguh miris.
Dan, ujaran seorang Bapak
yang selalu melekat di ingatan saya.
“Di sini banyak orang
pintar, orang kaya, tapi nafsi-nafsi. Ahh ... tak tahu juga siapa yang salah,
mungkin prasangka saya. Hahaha ....”
Itulah pilihan. Kalau
ditanya, kami dapat apa? Insya Allah dapat ilmu dan pengalaman. Dan, semoga,
Allah ridho memberi pahala. Tapi ... kalau ditanya, seberapa besar keuntungan
(materi) yang diraup? Sungguh, kami tak bisa menjawab. Tapi ... percayalah,
kegiatan seperti ini, berpotensi mengayakan hati.
Dunia semakin “gila” dan
bergerak sedemikian cepat. Pengaruh-pengaruh darimana saja bisa datang kapan
saja. Yang baik, yang buruk. Kemajuan teknologi, media-media dengan kepentingan
masing-masing, situs-situs yang bisa dibuka kapan pun, dan bayak hal yang ada
di era sekarang, jika tak terarahkan
dengan benar, berdampak negatif untuk generasi kita. Semua tahu itu, bukan?
Kita menjadi tak asing dengan tawuran, hamil di luar nikah, narkoba,
prostitusi, dan semacamnya.
Siapa yang salah? Lalu,
kita sudah berbuat apa?
Untuk apa memikirkannya. Apa itu memang urusan kita?
Di dalam diri kita ada
hak-hak orang lain. Dan, “kewajiban-kewajiban kita jauh lebih banyak dibanding
usia yang kita miliki,” kata imam Hasan Al-Banna. Hak-hak. Kewajiban-kewajiban.
Yang manakah itu?
Menurut saya (kami),
kasus-kasus di atas adalah hak-hak dan kewajiban itu. Sudah menjadi hak
anak-anak dan remaja itu untuk diarahkan dan diajak yang baik-baik. Serta,
sudah menjadi kewajiban kita pula, sebagai yang lebih tua, untuk aktif dan
berpikir kreatif dalam mengajak dan mengarahkan.
Dan, kami, yang berasal
dari dunia kepenulisan, berusaha melakukan apa yang kami bisa. Komunitas baca.
Dengan niatan, agar anak-anak muda kita dekat lagi dengan buku-buku. Mau
membuka wawasan dan pengetahuan. Mengayakan hati dengan belajar pada tulisan
para ahli. Juga menjadi kreatif dan berprestasi dengan menemukan potensi yang
menghuni dirinya sejak lahir (Insya Allah
kami juga menggagas rumah kreatif dan organisasi kepenulisan/FLP Lutra).
Cuma itu yang kami bisa (semoga nanti diberi kemampuan untuk
melakukan lebih banyak). Dan, alangkah bahagianya jika orang-orang pintar
yang telah kembali itu juga melakukan sesuatu yang mereka bisa.
Kita para ibu atau calon
ibu, barangkali tak mesti memesani anak-anak kita dengan;
Sekolahlah tinggi-tinggi ... belajar yang baik, supaya dapat
pekerjaan dan gaji yang bagus!
Tapi ....
Belajarlah yang baik, Nak. Supaya berilmu lantas bisa
berbagi dan berarti dalam hidup.
Dan, untuk satu seloroh.
Kata Buya Hamka (ulama dan
sastrawan).
Kalau hidup sekadar hidup
Babi di hutan juga hidup
Kalau bekerja sekadar bekerja
Kera juga bekerja
Apalagi jika hidup hanya untuk mengisi dompet dan perut. Sungguh sia-sia, saya rasa.
Hidup adalah belajar dan
berbagi.
Malam makin ke tengah.
Sejujurnya, obrolan kami di meja makan tak sepanjang yang saya tulis. Kumpulan
ingatan mengerumuni dan minta diikutkan.
***
Komunitas baca
Kunang-Kunang (Minasa) menerima donasi berupa buku-buku dan dana membeli buku.
Donasi bisa disalurkan ke
085299213922 atau kontak Fanpage Minasa (Dedikasi untuk Negeri).
Untuk kesertaan kerelawanan
(volunteer) juga bisa menghubungi kontak dan akun yang sama di atas.
7 komentar
Saya sangat mengapresiasi hal2 seperti ini kak, terus berjuang, Dedikasi untuk negeri.. Minasa.
BalasHapusTerima kasih, Dek. Mari berbagi untuk sesama. :)
HapusLakukan sekarang. Bahkan masa depan adalah saat ini, di sini. Jika kau tak melakukan apa-apa, masa lalu baru melintasi di hadapanmu, membawamu pergi.
BalasHapusSalam dari saya,
MWN
Salam juga, Kak. Terima kasih untuk semangat yang terus ditularkan. :)
HapusLakukan sekarang. Bahkan masa depan adalah saat ini, di sini. Jika kau tak melakukan apa-apa, masa lalu baru melintasi di hadapanmu, membawamu pergi.
BalasHapusSalam dari saya,
MWN
kuşadası
BalasHapusfethiye
sivas
samsun
mugla
MW5P
kuşadası
BalasHapusfethiye
sivas
samsun
mugla
73KEV