#NAK 1 (Detik-detik hadirmu)

Sabtu, Desember 19, 2015

Terima kasih telah menjadi anak baik, tidak neko-neko, selama dalam kandungan.

Terima kasih karena telah begitu kuat menembusi hujan tak berjeda selama sepuluh jam perjalanan dengan motor, berjalan dan menaiki anak-anak tangga taman kupu-kupu Bantimurung, berkegiatan ini-itu, bolak-balik kampung Abi-Ummi juga dengan motor, dan banyak lagi, sampai detik-detik kelahiranmu yang tidak sempat didengar tetangga. Allah menguatkan kita hingga semuanya lancar dan berjalan normal. Alhamdulillah ...!



Tigapuluh November 2015 Ummi merasa kalau waktumu sudah dekat. Barangkali kamu tahu kalau dekapan Ummi dan Abi sudah menunggu sejak lama. Sehari sebelumnya, kami (Abi dan Ummi) sempat menerka-nerka tanggal, juga berharap-harap, semoga kamu lahir di tanggal yang unik semisal 15-12-15 atau 12-12-15 atau 11-12-15. Haha ... tapi percayalah, itu cuma guyonan, tak pernah kami seriusi karena sesungguhnya tidak satu kali pun kami memasang jadwal kapan kamu mesti datang. Istilah nenek buyutmu, “bayi itu punya jam sendiri. Dia tahu kapan waktunya harus lahir.”


Besoknya, tanggal satu Desember siang, perut Ummi mulai mulas-mulas. Dalam jeda yang pendek sekali, Ummi harus berkali-kali menutup pintu kamar mandi, buang air kecil. Lantas, beberapa jam berlalu, tanda-tandanya meningkat. Ummi didera perasaan ingin buang air besar, berkali-kali, dan berkali-kali pula tak ada apapun yang keluar. Di situ Ummi baru yakin betul kalau semuanya, insha Allah, tinggal menunggu jam. Ummi harus memanggil nenek buyutmu untuk menemani. Di rumah hanya ada Ummi dan Abi dan satu pamanmu yang masih kelas dua SMP.

Seperti yang Ummi tulis di awal; terima kasih. Sepanjang sembilan bulan, kamu begitu baik dan tenang dalam perut Ummi. Paling Ummi sakit-sakit ringan seperti kram di perut atau nyeri pinggang yang, semuanya  bisa cepat diatasi.

Dulu-dulu Ummi membayangkan kalau hamil adalah proses yang dipenuhi hal-hal baru yang sulit misalnya muntah-muntah, tak bisa cium bau ini-itu, pengin begini-begitu yang semuanya mesti dituruti. Istilahnya, ngidam. Ummi juga ngidam, kok, sama seperti yang lain. Tapi alhamdulillah ngidamnya tidak aneh-aneh. Yang Ummi rasakan di awal-awal kamu berada dalam kandungan, Ummi maunya jalan-jalan terus, juga semangat sekali berkegiatan. Lalu di pertengahan sampai bulan-bulan akhir, Ummi jadi kuat membaca dan getol belajar. Hehe. Ngidamnya bagus ya, Nak. J Sesekali saja Ummi kepingin makan sesuatu yang, alhamdulillah sesuatunya juga wajar-wajar saja. Oh, ada dua ding yang rasanya agak berat.

Pertama, mood Ummi cepat sekali berubah-ubah. Kadang tiba-tiba sedih, tiba-tiba galau, tiba-tiba melankolis atau tanpa sebab, tiba-tiba mau marah-marah. Untungnya Abi pintar menyikapi, pintar menenangkan.

Kedua, Ummi tidak bisa ditinggal sama Abi. Abi lambat pulang dari masjid saja, Ummi sudah gelisah. Waktu Abi pulang ke kampungnya dan terus ke Makassar beberapa hari dan Ummi tidak ikut, Ummi susah sekali tidur dan seperti diserang meriang yang aneh. Pernah juga Ummi sampai nangis gara-gara Abi tidak pulang-pulang dari tempat kerja padahal waktu maghrib sudah hampir habis. Hahaha ... begitulah Nak, lebay sekali sepertinya. Tapi itu tidak dibuat-buat, terjadi alamiah.

Terima kasih, ya, karena dengan semua kondisi yang ada, kamu tetap kuat dan itu jelas menguatkan Ummi juga.

Dua Desember sore, sudah ada darah bercampur lendir yang keluar. Menurut perkiraan nenek, kamu akan lahir sekitaran pukul satu atau tiga malam. Saat itu Ummi makin berdebar. Kadang takut. Mulas di perut juga menjadi lebih kuat dan bertambah intensitasnya. Untuk menenangkan diri, Ummi coba melakukan apa saja yang masih bisa. Beres-beres rumah dan halaman, makan banyak-banyak, dan jalan kesana-kemari mengitari seisi rumah. Katanya, menjelang lahiran, memang harus rajin gerak (selagi bisa). Bakda maghrib sampai entah pukul berapa, Ummi menghabiskan waktu dengan sholat dan murajaah. Setidaknya, Ummi tidak takut lagi. Saat itu, Ummi pasrah untuk apapun yang akan terjadi nanti.

Ummi tertidur dan pukul sebelas malam terbangun karena kaget. Banyak air bercampur lendir keluar. Sarung yang Ummi pakai, basah. Selanjutnya, bagaimana rasanya melahirkan, tidak cukup digambarkan dengan narasi. Mungkin itu sebabnya mengapa seorang Ibu amat dimuliakan. Antara hidup dan mati, sebetul-betul perjuangan.

Kamu tahu, Nak, satu kali pun kita tidak pernah ke dokter dalam sembilan bulan yang panjang itu. Tak ada pemeriksaan, tak ada obat, tak ada suntikan, USG atau semacamnya. Yang Abi dan Ummi lakukan hanya mengonsumsi bahan-bahan herbal, berkegiatan seperti biasanya dan terus yakin bahwa kamu dan Ummi akan baik-baik saja. Sering juga Abi memaksa Ummi—yang malas-malasan—untuk olahraga atau sekadar jalan-jalan pagi. Semasih di Makassar, kami sering menikmati udara segar kampus Unhas. Jalan-jalan di setapak berkerikil. Berdua saja.

Pertengahan usiamu dalam kandungan, Abi dan Ummi memutuskan pulang kampung. Banyak pertimbangan untuk itu. Pernikahan tantemu yang harus dihadiri, ramadhan yang sebentar lagi, dan supaya bisa sering-sering di-treatment sama nenek buyutmu.

Di kampung kita, mungkin juga di kampung-kampung lain, sekarang ada aturan barunya. Tidak boleh melahirkan di rumah. Juga, diharuskan meminta bantuan tenaga kesehatan. Yang tidak turut akan dikenai denda sejumlah uang. Tak ada yang salah dengan aturan itu, Nak. Tidak ada. Namun yang Ummi dan Abi hadapi seperti ini;

Nenek buyut—ibu dari nenekmu—itu adalah dukun beranak. Pengalamannya sudah berpuluh tahun. Tak terhitung sudah ibu yang dibantunya melahirkan. Bahkan ada anak yang dulu dibantunya keluar dari perut ibunya sekarang dibantunya lagi, tapi dibantu mengeluarkan anak. Dulu, waktu aturan belum dibuat, nenek buyutmu itu bekerjasama dengan dokter dan bidan di puskesmas kampung. Perpaduan medis dan tradisional.

Sekarang ini, sebetulnya, dukun dan para bidan itu juga bekerjasama. Kayak nenek buyutmu (tante nenekmu) yang satunya lagi yang juga dukun beranak, dia cukup patuh pada aturan-aturan itu. Menemani Ibu melahirkan sampai mendekati “pembukaan” akhir lalu menyerahkan semuanya pada bidan untuk tindakan selanjutnya. Rajin sekali menyarankan ibu-ibu untuk melahirkan di puskesmas atau pustu atau rumah sakit. Meski katanya, kadang, ada juga hal-hal yang mereka tidak sepaham.

Beda dengan buyutmu. Untuk hal-hal yang tidak sepaham itu, dia cenderung keras kepala. Misalnya untuk beberapa kasus kelahiran yang menurut buyutmu masih bisa normal, ternyata menurut tenaga medis harus operasi. Atau ketika menurutnya sudah waktunya mengejan tapi ternyata, belum dibolehkan sama si bidan. Kata buyutmu, “bayi itu punya jam sendiri. Tahu kapan waktunya harus lahir.” Dan beberapa lagi ketidaksepahaman yang lain. Jadilah banyak bidan tidak menyukainya.

Ummi lebih memilih untuk melahirkan dibantu buyutmu saja. Bukan karena Ummi menolak yang modern atau sengaja berpikir kolot. Bukan itu. Alasannya, hmm ... masalah psikologi saja. Ummi tidak bisa kalau harus melahirkan di tempat baru dengan suasana tidak menyenangkan karena biasanya banyak orang. Ummi juga tidak bisa membayangkan bagaimana badan dan organ sevital itu harus dilihat orang asing, dipegang, diubek-ubek, ah ... ya Allah. Ummi tidak bisa. Takutnya, Ummi yang seringkali hiperbolis, malah pusing memikirkan itu dan tidak konsen mengejan.

Alasan lain, Ummi lebih nyaman di-treatment sama buyutmu. Terasa sepenuh hati. Pernah sekali ding Ummi diperiksa sama bidan teman tantemu dan Ummi tidak suka caranya. Ummi yakin tidak semua begitu tapi itu memberi kesan yang buruk.

Alasan lain lagi, untuk menjaga perasaan nenek buyutmu dan menghemat biaya. Hehehe.

Ummi bilang ke Abi kalau lahiran nanti Ummi tidak mau ditinggal meskipun sebentar. Pokoknya Abi harus selalu ada di samping Ummi. Pokoknya Abi harus ikut menyemangati. Hehe. Karena itu, berterima kasihlah pada Abi karena sehari semalam tak pernah tidur untuk memenuhi permintaan Ummi.  

Perkiraan itu meleset. Pukul tiga pagi lewat dan Ummi belum melahirkan, kamu masih malu-malu keluar. Ummi di kamar kita yang biasa, cuma ditemani Abi dan buyutmu. Nenekmu (ibu Ummi) masih dalam perjalanan pulang dari Makassar.

Rasa sakit itu bukan main hebatnya, Nak. Ummi tidak bisa lagi jalan-jalan kecil. Ummi berbaring saja, menggigit selembar kain (setidaknya, sedikit-sedikit, rasa sakit itu bisa ditumpahkan di situ). Pukul tiga lewat, kamu sudah meminta Ummi untuk mulai mengejan. Desakanmu terasa begitu kuat di bagian bawah perut Ummi. Saat-saat begitu, Ummi makin kuat juga menggigiti selembar kain itu. Lantas, beberapa menit kemudian, kamu menjadi tenang, sakitnya berangsur hilang. Kamu lelah ya, Nak? Ummi juga.

Di sebelah kiri Ummi ada buyutmu. Membantu Ummi kalau kamu mendesak lagi ingin keluar. Memijat lembut perut atau kaki Ummi. Di sebelah kanan ada Abi. Lengannya tak lepas Ummi pegangi. Abi juga tak hentinya menenangkan dengan ayat-ayat Qur’an sembari mengusap kepala Ummi. Ummi sendiri tak putus berdoa. Tak putus mencoba untuk meluruskan hati, menyerahkan segalanya pada Allah. La hawla wa laa quwwata illla billaah.

Dulu, ustadz di surau tempat Ummi mengaji mengibaratkan kalau melahirkan itu seperti menaruh sepasang kaki di dua tempat. Satu kaki di dunia dan satu kaki lagi di alam kubur. Melahirkan adalah pertaruhan nyawa, begitu katanya. Maka Ummi tak lelah meminta agar diberi kesempatan, umur panjang dan  kekuatan untuk bertahan. Masih banyak tanggung jawab yang harus diselesaikan, Nak.

Di sela sakit yang bukan main itu, Ummi masih sempat tertidur. Sampai nenekmu tiba, barulah semuanya mulai lagi. Sakit dengan kekuatan yang entah bertambah berapa kali lipat menghantam-hantam. Mendorong Ummi untuk mengejan dengan semua tenaga yang Ummi punya. Nenek dan buyutmu, bibirnya tak henti-hentinya menyemangati. Tangan-tangannya dengan lembut membantu mendorongmu keluar. Abi juga tak putus dengan doanya, juga ciuman pelan di kepala. Lengannya kokoh menopang berat tubuh Ummi. Berada dalam rengkuhan Abi, Ummi lebih tenang.

Pukul tujuh pagi, ketuban pecah. Kamu menyusul dengan menampakkan ujung kepala. Sayangnya, Ummi kehabisan tenaga dan tidak kuat lagi mendorongmu keluar. Kaki kanan Ummi juga kumat, tidak bisa digerakkan dan terasa nyeri sekali. Ummi pasrah ketika itu, Nak. Benar-benar pasrah. Bahkan sempat berpikir untuk dilarikan saja ke rumah sakit dan menjalani operasi. Tapi Nak, sejauh itu, apa yang Ummi takutkan sejak mulai mengandung malah tidak terjadi. Asma Ummi tidak kambuh. Allah Maha Besar.

La hawla wa laa quwwata illla billaah.

Abi terus mengulang ayat itu di telinga Ummi. Terus ... terus ... berulang kali. Menyentak Ummi yang hampir tidak sadarkan diri. Kekuatan itu bukan punya Ummi tapi punya Allah. Ummi tidak boleh menyerah. Tidak boleh. Bukankah, seperti harapan Ummi dan Abi, kelak insya Allah kamu akan jadi anak shaleh yang punya kelapangan ilmu, yang luas hatinya untuk berbagi pada yang lain. Dan karena itu, Ummi tidak mau berhenti di sini.

QS. Ar-Rahman  mengalun pelan dari hape. Nenekmu datang dengan sebutir telur ayam kampung dicampur madu yang langsung Ummi tenggak. Abi masih belum putus dengan doanya, dengan usapan dan ciuman pelannya di kepala, juga dengan lengannya yang tidak capek Ummi pegangi. Nenek dan buyutmu juga masih setia membantu mendoronmu keluar.

Dan melalui semua itu, Allah menguatkan Ummi lagi.

Ummi mengejan kuat-kuat. Sangat kuat. Tak lagi hirau pada nyeri yang menjalari sekujur kaki kanan Ummi, pada sakit “tingkat dewa” di bagian bawah perut Ummi.
Sampai akhirnya suara itu ... suara tangisanmu, memecah kelegaan yang tersimpan di dada kami selama berjam-jam.

Kamu sudah lahir, Nak. Dua Desember 2015, pukul 08.45.

Kami sudah menyiapkan nama jauh sebelum hari ini.
Selamat datang, Sayang. Najdah Maryamasagena.

Kita sudah melewati semuanya dengan baik, Nak. Terima kasih telah kuat. Dan, teruslah kuat karena perjuangan masih panjang.

Terima kasih Abi sudah berlelah-lelah. Terima kasih sudah berusaha jadi imam yang terus ingin belajar.

Terima kasih Ibu dan Nenek. Juga semua keluarga.

Dan tentu saja,
Terima kasih Allah untuk segalanya.

Untuk dua cinta; Abi dan Gena.

***





You Might Also Like

15 komentar

  1. Selamat ya, mba. Semoga jadi penyejuk hati orang tuanya. :)

    BalasHapus
  2. Selamat mbak, membaca ini jadi ingat pengalaman melahirkan juga, kapan2 saya tuliskan di blog deh. Salam kenal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ditunggu cerita pengalaman melahirkannya, mbak. Salam kenal.

      Hapus
  3. Alhamduillah selamat ya Dikpa, selamat abinya Gena. Semoga Gena menjadi putri shalihah penyejuk mata dan hati orang tua.

    Pengalaman melahirkan memang luar biasa dan .... berbeda2 tiap anak. Itu seru dan seninya :)

    Barakallah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Syukron jiddan kak Niar. Iya, Kak. Melahirkan memang luar biasa seru.

      Hapus
  4. Perjuangan yang luar biasa. Sedih bacanya. Selamat ya dek dikpa....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perjuangan seorang perempuan. Terima kasih kak Abby sudah singgah.

      Hapus
  5. Perjuangan yang luar biasa. Sedih bacanya. Selamat ya dek dikpa....

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah, Terharu bacanya kak. Selamat atas kelahiran anak pertamanya. Barakallah :)

    BalasHapus
  7. Selamat ya, Mak. Semoga ananda menjadi penyejuk mata... Dek Gena sayang... sehat-sehat ya cantik...Umminya semoga cepet pulih juga. Selamat hari Ibu...


    http://kataella.blogspot.co.id/

    BalasHapus
  8. Terima kasih mak Ella. Semoga mak Ella juga sehat-sehat selalu. :-)

    BalasHapus

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger