Kiriman Sore (Harian Cakrawala, 30 Mei 2015)

Jumat, Mei 29, 2015


Dia berbalik dan punggungnya perlahan hilang di daun pintu. Aku tercenung. Merutuki diri sendiri. Suara yang selalu kutekan dan lembutkan agar sopan bisa-bisanya, hari ini, naik oktaf dan membuat matanya merah. Aku bisa merasakan dadanya yang bergemuruh. Naik turun dengan berat. Dia tidak bicara apa-apa tapi marah, atau tersinggung. Napasnya lalu memburu, rahangnya mengeras. Selanjutnya, kupikir, dia sengaja pergi karena tak tahan menyembunyikan wajahnya yang buncah.
Gorden di jendela kamar terkirai-kirai karena angin. Aku mendekat dan menghadapkan wajah ke luar. Menamatkan pandangan pada kuning bulir-bulir padi di kejauhan, juga pohon-pohon jagung di samping rumah yang kutanam bersama kak Amir dua bulan lalu.
Di siang sunyi begini, aku bisa mendengar hela napasku sendiri. Yang menuturkan cemas, sedih, kesal yang tak kumengerti—macam-macam. Entah bagaimana pasalnya, dadaku dirasuki perasaan-perasaan aneh itu.
“Kamu kenapa, Dik? Empat hari ini marah-marah tidak jelas. Kakak kan capek baru pulang dari sawah.”

Keluhan kak Amir terngiang lagi.
Segaris lurus mataku, butir-butir air meluruh.
**
Hampir petang ketika kulihat wajahnya kesana kemari dari jendela ke pintu. Sementara di kamar, aku mengunci suara. Kuputuskan untuk tidak menemuinya meski hanya hitungan menit. Dari mula bumi ini dicipta, aku yakin, tak ada yang bisa memaksakan rasa. Hanya Dia, yang di atas, yang bisa mengubah kapan saja.
Dia laki-laki baik, sebetulnya. Tapi semakin kuhitung derma dan sikap manisnya, dalam dadaku hal yang tak kuharapkan itu malah bertambah-tambah. Hambar dan seolah semuanya cuma disengaja agar aku bersimpati.
“Rahma ada, Kak?”
Dia akhirnya menanyakanku pada kak Amir yang baru saja pulang.
“Biasanya kalau sore begini ada di rumah. Tapi saya juga kan baru datang.”
Aku menguping dan kutangkap pembicaraan-pembicaraan mereka yang mengalir seperti sungai di ujung kampung. Tentang panen raya yang sebentar lagi. BBM yang beberapa minggu lalu naik turun atau malah cerita klasik semisal sebuah kampung yang konon dikutuk dan kini menjadi gua.
Tak henti-hentinya doa kupanjatkan agar dia cepat-cepat melangkahkan kaki dari beranda. Semestinya dia tidak sebebal itu, tak memaksa-maksa agar perasaannya kubalas serupa.
“Kalau saya menikah dengan Rahma, sawah saya yang luas itu bisa dibagi untuk kak Amir juga,”
Kurang ajar sekali laki-laki itu mulai merayu kak Amir. Dia pikir sawahnya itu bisa mengubah apa-apa seenak jidatnya?
“Kak Amir tak perlu lagi repot-repot kerja sawah orang lain. Selain sawah, saya juga punya bisnis mebel di kota,”
Kalimat itu membuat kupingku makin panas. Aku yang dari tadi mengeram di kamar, akhirnya tak bisa menahan kakiku untuk tidak melangkah ke luar lalu berdiri di tengah-tengah pintu.
“Pulang saja ... tak ada gunanya mengiming-imingi kami dengan uangmu yang bertumpuk sampai jamuran itu,”
Kalimat itu datar saja namun pedas—betul-betul tak kusangka akan meluncur dari bibirku. Aku merasakan suasana yang tiba-tiba menjadi lain di beranda. Aswar, dari sudut mata, samar kulihat wajahnya memias. Kak Amir ... aih, aku tak sanggup memandangnya. Dia pasti kecewa telah punya adik yang tak bisa menjaga santun dalam dirinya.
Mungkin hati Aswar panas hingga dia bergegas meninggalkan kursinya dengan mengucap salam yang kedengarannya ketus sekali.
**
Rahma tak ada di rumah ketika aku baru pulang. Pekan ini musim panen dan biasanya dialah yang paling semangat turun ke sawah atau sekadar mengantarkan rantang-rantang berisi makanan saban siang. Tapi empat hari ini dia sama sekali tidak muncul. Kuketuki kamarnya dan hanya lengang yang ada. Dia pasti tak ada di dalam.
Entah dimana anak itu. Dan, mataku terperangkap pada sosoknya yang duduk melamun di bawah pohon Jambu ketika kuturuni anak-anak tangga belakang rumah.
“Heiii ... sore-sore kok melamun!” teriakku.
Tak ada jawaban. Hanya kaki-kaki jenjangnya bergerak pergi, naik ke atas rumah, dengan langkah mengentak-entak.
Heran. Dan, menjadi terkejut ketika ceracauan adik satu-satuku yang telah ditinggal bapak-ibu itu sampai ke kuping.
“Hasil panen kita begitu-begitu lagi kan, Kak? Tak ada peningkatan. Rahma bosan ...”
“Rahma?” aku memotong cepat. Sejak kapan anak ini tak pandai bersyukur?
“Kenapa, Kak? Rahma bosan, rumah dan keadaan kita tak pernah berubah sepanjang tahun.”
Aku mengelus dada. “Kamu kenapa, Dik? Empat hari ini marah-marah tidak jelas. Kakak kan capek baru pulang dari sawah,” tanyaku lagi.
“Rahma juga capek hidup miskin,” tanggapnya ketus.
Hatiku yang berusaha kusabar-sabarkan, tak kuat jua. Tubuh lelah butuh istirahat ditambah ceracauan menyesakkan membuatku hilang kendali. Kurasakan amarah meluap-luap, hampir menyentuh ubunku. Aku tak berucap apa-apa. Dengan napas memburu, tergesa kubalik badan dan pergi meninggalkan adikku itu. Ah, entah kenapa dia?
**
Perasaanku menjadi tidak jelas beberapa hari terakhir. Dan itu membuatku seperti tak mengenal diri sendiri. Dengan perasaan bercampur-campur aku menunggui kak Amir di beranda. Adik macam apa yang tega sekali mempersoalkan hasil jerih payah kakak yang selama ini menjadi tempatnya  bersandar setelah bapak-ibu pergi?
Hal yang juga sering kusimpan akhir-akhir ini adalah takut yang teramat hebat. Entah kenapa malaikat maut seperti terus menguntitiku. Kematian yang seolah sebentar lagi menjemputku menari-nari membebani kepala, yang detik demi detik bertambah berat dan berat. Kucengkram pegangan kursi tempatku duduk, kuat-kuat.
Untungnya, ketika tubuhku hampir limbung, kak Amir muncul. Wajahnya  terlihat samar tertimpa cahaya matahari sore. Entah kenapa, aku bertambah takut dan akhirnya menangis sejadi-jadinya. Kak Amir yang mempercepat langkah dan kini berada di hadapanku, kurengkuh kuat-kuat.
Dalam tangan kekar kak Amir aku mencoba mengumpulkan napasku yang berserak-serak. Gagal. Kepalaku berputar dan samar kulihat beberapa orang telah mengelilingi tubuhku. Mulutku menceracau tanpa bisa kukendalikan. Beberapa orang merapal doa. Di telinga kananku kudengar kak Amir membisikkan ayat-ayat suci al-qur’an. Seluruh sendiku mengejang, sakit menjalar dimana-mana.

Beberapa langkah di belakang orang-orang itu, Aswar berdiri dan lurus menatap mataku. Lantas menyeringai—terlihat jahat sekali. Lalu ... aku tidak ingat apa-apa lagi. 

***
Cerpen ini dimuat di harian Cakrawala, edisi Sabtu 30 Mei 2015


You Might Also Like

0 komentar

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger