Cerpen majalah GADIS edisi 4 April 2014 -- Janji Avira pada Mama
Senin, April 21, 2014Avira menghela napas panjang. Di dadanya bermacam-macam perasaan berkecamuk. Antara bahagia, takut dan cemas. Membayangkan wajah tampan berahang tegas itu tentu membuat hatinya sangat senang. Tapi mengingat pesan dan nasihat Mama untuk tidak terlalu dekat dengan laki-laki menjadikannya berpikir seribu kali.
“Aku takut pada Mama, Mon,” ucap Avira pelan pada sahabatnya.
Mendengar ucapan Avira, Monica termenung cukup lama. Memikirkan kalimat yang tepat untuk dikeluarkan. Sebenarnya dia sendiri merasa ragu atas keputusan sahabatnya itu. Di matanya, Damai bukanlah tipe cowok idaman. Suka ugal-ugalan di jalan, kerap dipanggil masuk ke ruang BP karena kenakalannya, beberapa kali kena skors, dan tahun kemarin, hampir saja tidak naik kelas.
“Mamamu pasti ngerti,” hibur Monica akhirnya.
“Kamu kayak nggak kenal Mamaku, Mon.”
Monica kembali terdiam. Ingin sekali rasanya memuntahkan deretan kata yang berjejalan dalam kepalanya. Tentang ketidaksetujuannya terhadap hubungan sahabatnya itu. Menurutnya, Avira bisa mendapatkan cowok yang lebih baik.
Mata Avira makin sendu. Wajahnya mendung. Ada beban yang terasa mendesak-desak dalam dadanya. Ingin sekali dia protes pada Mama tentang segala aturan yang diberlakukan padanya. Aku bukan anak kecil lagi. Pekiknya dalam hati.
“Mamaku itu egois, Mon. Dia membuat aturan sesuka hatinya tanpa pernah bertanya bagaimana perasaanku,” ucap Avira lagi. Dia mendengus kesal sambil menggerak-gerakkan jemari lentiknya.
Monica menegakkan punggungnya. Memegang bahu Avira dengan dramatis, lalu menatap mata sahabatnya itu lekat-lekat. Dia siap meluncurkan uneg-unegnya.
“Avira … kamu tahu, setiap Mama pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya!”
“Tapi tidak dengan Mamaku,”
“Vir, kamu itu cantik, baik, pintar. Kamu sempurna, sedangkan Damai …”
“Lalu?” potong Avira ketus. Ada sesuatu yang tak mengenakkan hatinya dalam ucapan Monica barusan.
“Yah … menurutku, kamu layak mendapat pacar yang lebih dari Damai. Kayak Rico, bintang sekolah yang pintar dan keren itu. Yang suka sama kamu sejak kelas satu,” dengan sangat hati-hati Monica bicara.
“Kamu nggak ngerti, Mon …”
“Vir, realistis dong. Ini untuk kebaikanmu!”
Tiba-tiba saja Avira merasakan ada panah melesat ke dalam dadanya. Menembusi kulit dan jantungnya. Sakit. Seperti petir, kalimat Monica barusan menyentaknya dari duduk. Buru-buru sekali, dia berdiri dan mengambil tas ranselnya yang tergeletak di atas meja belajar. Matanya menghangat.
“Kamu sama saja dengan Mama. Nggak ngerti gimana perasaanku!” ucapan itu terdengar berat dan serak. Tanpa menoleh, Avira melangkahkan kakinya.
Monica terkesiap. Dia sadar ucapannya barusan sangat salah. Segera dia berdiri dan tergopoh menahan langkah Avira.
“Vir … biar aku jelasin dulu. Aku nggak bermak …”
Braakkk ….
Tak ada lagi yang ingin didengarkan Avira saat ini. Dia membanting pintu kamar dan meninggalkan Monica yang dipenuhi rasa bersalah.
**
“Mama hanya ingin kamu bahagia, Avira …” ucap Mama suatu malam.
“Tapi Mama egois,” Avira berkata lirih.
Mama merengkuh pundak dan membelai rambut Avira dengan lembut.
Sebenarnya ada banyak hal yang tidak dimengerti Avira. Mama seperti dua sisi mata uang. Kadang begitu lembut dan hangat, tapi kadang otoriter seperti Hitler di zaman penjajahan. Semua aturannya harus dipenuhi.
“Aku capek, Ma. Aku bosan mengikuti semua keinginan Mama. Les piano, matematika, bahasa inggris. Harus pulang sebelum pukul enam. Nggak boleh keluar menikmati malam minggu bersama teman-teman. Nggak boleh …”
Mama mengeratkan pelukannya. Kepala Avira ditidurkan di dadanya. Jemari-jemarinya tak henti membelai lembut anak satu-satunya itu.
Avira menghentikan kalimatnya, lalu mengerjap-ngerjapkan matanya. Dipandangnya wajah Mama yang lelah--yang tak pernah berhenti berusaha membahagiakannya. Hanya saja, Mama tidak tahu apa sesungguhnya keinginannya. Dia hanya berharap diperlakukan seperti anak-anak lain. Diberi sedikit kebebasan.
“Kamu akan mengerti, sayang. Semua itu untuk kebaikanmu,” Mama akhirnya bicara.
Avira telah menyusun banyak pertanyaan dalam kepalanya. Dan, sepertinya malam ini waktu yang tepat untuk menumpahkan semuanya. Avira menghela napas. Menyiapkan diri untuk pertanyaan pertama.
“Ma ….”
“Hmm?”
“Waktu muda, memangnya Mama nggak pernah jatuh cinta?”
Mama tak langsung menjawab. Dia melepaskan rengkuhannya dari pundak Avira. Lalu berjalan mengambil segelas air dari dalam teko yang disiapkan di atas sebuah meja kecil di sudut kamar. Mama meneguk air itu perlahan.
Avira tahu, Mama menyembunyikan sesuatu. Harusnya Mama berbagi. Harusnya Mama mau bercerita padanya. Dia cukup dewasa untuk mendengarkan sebuah penjelasan.
Mama kembali duduk di samping Avira, tapi tak kunjung mengucapkan sesuatu.
“Mama pernah jatuh cinta?” Avira mengulang pertanyaan itu.
Mama diam. Dari dalam dadanya terdengar helaan napas yang panjang dan berat. Matanya menerawang.
Avira merangsek ke dalam pelukan Mama. Digenggamnya jemari-jemari Mama yang menua. Terasa sangat dingin dan sedikit basah. Dengan hati-hati Avira berucap lagi, “Ma … Avira jatuh cinta.”
Mama memerhatikan wajah Avira, anak semata wayangnya. Avira sudah dewasa. Sudah seharusnya mengetahui hal yang menyesaki dadanya selama ini. Mama membuang napas. Tapi, bagaimana cara mengatakannya? Harus dimulai darimana?
“Aku hanya ingin Mama memberiku sedikit kebebasan. Mengizinkanku menikmati masa remaja seperti anak-anak lain.” Avira berpikir sejenak. Mengatur kalimatnya. “Dan, seperti waktu Mama muda, Avira ingin tahu rasanya jatuh cinta.”
“Ya, mungkin sudah saatnya Mama mengalah,” kalimat itu keluar beriringan dengan senyum tulus Mama.
“Jadi …”
“Ajak dia menemui Mama. Mama ingin melihat siapa yang berhasil merebut hati gadis kecil Mama,” Mama mengerling jahil. Menggoda Avira.
Seperti mendapat kejutan tahun baru, Avira melonjak kegirangan. Dipeluknya Mama dari belakang. Malam ini malam paling bahagia dalam hidupnya. Rasa-rasanya udara terperangkap dalam kado berbentuk hati dalam dadanya. Membuat matanya hangat karena haru.
Mama tersenyum lagi. Lalu beranjak meninggalkan kamar Avira.
“Ma …”
Mama menoleh. Mengerutkan keningnya.
“Avira ingin Mama bercerita soal …”
“Sudah larut, sayang. Sebaiknya kamu tidur.”
Lagi-lagi Mama menghindar dengan wajah duka. Avira menebak, tak lama lagi akan ada gerimis dari mata Mama yang sangat dicintainya itu. Tapi, Mama selalu diam. Mama selalu menyimpannya sendiri. Malam itu Avira tidur dengan perasaan sedih dan gembira, bersamaan.
**
Berulang kali Avira memandangi ponselnya. Berhitung dengan perasaan bersalah dan malu. Dia menghela napas lagi. Mencoba membuang ragu dari dalam dadanya. Bagaimana cara santun meminta maaf? Kalau Monica tidak mau memaafkannya? Dia harus bagaimana?
Sambil mengetuk-ngetuk jemari di atas meja belajar dan menggigit bibir kuat-kuat, Avira menekan tombol ‘memanggil’ Monica. Terdengar suara menyambungkan dari operator. Avira terus berdamai dengan pertanyaan yang memenuhi kepalanya.
“Halo ....”
“Halo. Mon, a-aku …”
“Avira! Vir, maafin aku, ya. Waktu itu aku nggak seharusnya ngomong kayak gitu. Please … maafin aku!”
Avira mengembuskan napas lega. Ternyata Monica telah menyediakan maaf yang luas untuknya.
“Maafin aku juga ya, Mon. Mestinya aku nggak ninggalin kamu gitu aja.”
“Ah udah deh … lupain!” mata Monica berbinar senang.
“Oh ya, Mama udah ngizinin aku jatuh cinta,” ucap Avira lagi dengan gembira yang meluap-luap.
“Wah … selamat, sayang! Besok, di sekolah, traktir ya!”
“Huuh dasar! Oke. Sampai ketemu besok. Daaa ….”
“Daa ….”
Klik.
**
Di sebuah kantin dengan ukuran tidak terlalu luas, Avira, Monica dan Damai duduk berhadapan. Menghabiskan waktu istirahat dengan berceloteh kesana kemari dan menyantap semangkuk bakso. Avira yang traktir, memenuhi janjinya pada Monica.
Bahagia menyebar dalam dada Avira melihat dua orang yang tengah duduk di hadapannya. Monica, sahabatnya yang berparas ayu dengan rambut hitam legam sebahu, yang beberapa hari lalu bersitegang dengannya. Damai, cowok jangkung, berkulit sawo matang dan berwajah tampan, yang terkenal bandel di sekolah. Entah apa yang membuatnya jatuh cinta pada cowok itu. Cinta memang bukan kita yang atur pada siapa dan kapan ia bersemi.
“Dam, Mama ingin bertemu denganmu,”
Damai mengangkat wajahnya, lalu meneguk air yang telah disiapkan di sebelahnya. Dengan santai dia berkata, “Serius nih? Akhirnya ibu mertua mau mengakui menantunya.”
“Iya. Tapi aku nggak mau kamu ke rumah dengan gaya kayak gitu,” Avira memberi kode dengan mengangkat alisnya. “Kamu harus potong rambut dan pakai kemeja yang rapi. Oke?”
“Baiklah tuan puteri. Apapun keinginan tuan puteri, akan hamba laksanakan.” Damai mengucapkan kalimat itu dengan sangat dramatis. Membuat Avira dan Monica terbahak.
**
Setelah pertemuannya dengan Damai, Mama banyak diam. Di meja makan atau saat nonton di ruang keluarga, Mama lebih sering menghabiskan waktunya dengan melamun. Avira yakin ada sesuatu yang sedang mengganggu hati Mama. Damai kah? Masalah kantor? Atau sesuatu yang sama sekali tidak diketahui Avira? Entahlah. Hanya Mama yang tahu.
Suatu malam sebelum tidur, tepat tujuh hari setelah pertemuan itu, Mama akhirnya kembali membelai lembut rambut Avira. Mama akhirnya bicara.
“Mama sayang Avira. Apa Avira sayang Mama?”
Avira menatap kedua mata Mama yang tampak sangat lelah.
“Ih Mama nanyanya kok gitu, sih? Ya iyalah, Avira sayang Mama.”
“Mama akan sangat bahagia kalau Avira tidak lagi dekat-dekat dengan Damai,” ucap Mama lagi.
Seperti tersengat listrik, Avira langsung duduk dan menjauh dari pangkuan Mama, “Maksud Mama?”
“Mama sudah tahu kalau …”
“Ma … Damai memang terkenal bandel di sekolah, tapi dia baik. Dia ngertiin Avira.”
Mama bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar.
“Mama akan sangat bahagia kalau Avira menjauhinya,”
“Tapi Ma …”
“Selamat tidur, sayang!”
Avira memandangi punggung Mama yang menghilang di balik pintu dengan perasaan kesal. Bukannya Mama sudah janji untuk membolehkan Avira jatuh cinta? Bukannya waktu itu Damai datang dengan sangat rapi dan sopan? Lalu kenapa?
Avira menelungkupkan wajah di bawah bantal dan menangis di sana.
**
Ponsel dengan gantungan berwarna pink di atas meja belajar itu bergetar. Monica. Setelah seharian mengurung diri di kamar, Avira memutuskan menemui Damai. Dia ingin menumpahkan semua kekesalannya malam tadi.
“Jadi kan?” tanya Monica ketika ponsel diangkat.
“Tunggu aku di rumahmu.” Avira menjawab pendek.
Dengan celana jeans, baju kaos berwarna biru dan rambut dikuncir, Avira bersiap pergi.
“Mau kemana, Vir?” tanya Mama dari arah dapur.
Langkah Avira terhenti. Dengan sedikit takut dia menjawab pertanyaan Mama, “Mau ke rumah Damai, Ma.”
Mama tidak marah, hanya saja wajahnya terlihat begitu mendung. Ada berlipat-lipat kesedihan di sana.
“Rupanya anak Mama tidak lagi mau mendengar,” Mama menghela napas. “Mama akan sangat sedih kalau Avira terus dekat dengan Damai.”
“Mama egois. Waktu itu Mama sudah janji untuk mengizinkan Avira. Tapi, kenapa sekarang Mama mengingkarinya?”
“Avira dengar Mama. Avira boleh jatuh cinta pada siapa saja tapi tidak dengan Damai. Mama sudah tahu kalau Damai …”
“Ma, berulang kali Avira bilang, Damai memang bandel di sekolah tapi dia itu baik, Ma.”
Mata Avira basah. Ada tangis yang menghujan di sana. Dia berbalik dan tetap melangkahkan kakinya keluar rumah.
“Vir … maafkan Mama, Nak. Mama …”
Avira tak lagi mendengar kalimat itu. Juga tidak lagi menghiraukan wajah Mama yang penuh air mata.
**
“Maaf, Papa Mama lagi nggak di rumah. Ada urusan bisnis katanya,” sambut Damai ketika Avira dan Monica tiba.
Wajah sembab Avira telah disamarkan dengan saputan bedak. Ketika menghadap dinding, matanya tertumbuk pada sebuah foto.
“Itu Mamaku. Dan … itu Papa tiriku. Sudah empat tahun mereka menikah.”
Dada Avira seperti dihantam godam raksasa. Sesak. Dia tak kuasa menahan tangis yang meluncur begitu saja dari sudut matanya. Orang itu, Papa tiri Damai, adalah Papanya. Papa yang mengkhianati Mama. Papa yang sudah empat tahun meninggalkannya.
Sekarang Avira mengerti mengapa Mama selalu diam jika ditanya soal cinta. Mengapa Mama menghindar kalau ditanya tentang Papa. Dan mengapa Mama merasa sedih jika dirinya dekat dengan Damai. Karena Mama terluka.
Dengan tangis yang masih menderas, Avira menggamit lengan Monica dan mengajaknya pulang. Dia ingin segera sampai di rumah, memeluk Mama dan mengucapkan beribu maaf. Avira berjanji dalam hati, dia tak akan membuat Mama sedih lagi.
***
*Catatan: Ini versi asli sebelum diedit oleh redaksi. (^^)
6 komentar
keren ^^
BalasHapuskisahnya terinspirasi darimana dian :D
BalasHapusAhhh ... sister ... I miss you. Terima kasih sudah mampir.
BalasHapusCeritanya terinspirasi dari lamunan di kamar mandi. hehe. :) :)
obat pembesar penis
BalasHapusobat vimax
obat kuat cialis
pembesar penis
selaput dara buatan
vagina getar suara
vagina senter
obat perangsang wanita
vimax pembesar penis
obat penghilang tatto
potenzol cair perangsang wanita
boneka full body
peninggi badan
obat pelangsing badan
obat vimax
pelangsing badan
obat peninggi badan
obat penambah sperma
vakum alat pembesar penis
perangsang wanita
penis ikat pinggang
penis getar
semenax pengental sperma
obat kuat viagra usa
pembesar penis
boneka full body silikon
obat pembesar penis
pembesar penis
permen cinta
Bagus, ceritanya ngalir, gak kerasa tahu-tahu udah selesai aja. Mampir juga ke www.temannulis.com | kata orang-orang cerpennya berbahaya. :D
BalasHapusCeritanya bagus Mak. Gak terduga :)
BalasHapus