Altra dan Kecemburuannya
Senin, April 21, 2014
Altra mengetuk pintu dengan keras.
Mengagetkan saya yang sibuk melamun. Ah, lebih tepatnya, mengurutkan kenangan
mana paling jelas dan sulit terlepas.
“Daun-daun lagi?” cerocos Altra begitu
memasuki kamar saya tanpa salam. Dan, tanpa permisi, seenaknya dia merebahkan
diri di dekat kipas angin yang bunyinya serupa jangkrik. Kipas angin yang sudah
terlalu tua.
Saya masih terpaku. Sejujurnya,
menganggap dia tak ada. Saya sibuk dengan pikiran-pikiran dalam kepala saya.
Pikiran-pikiran … bukan. Hmm … mungkin lebih benarnya, kita sebut saja lamunan
tentang kenangan yang memutar-mutar dan harusnya tak ada dan mestinya sudah
berada dalam kotak “spam” otak.
“Hei …!”
Saya mendongak. Melebarkan pupil dan
mendapati wajahnya yang bosan. Matanya menyipit, bibirnya merengut, lubang
hidungnya membesar dua kali. Bahagia atau bosan, ekspresinya tetap saja jenaka.
Dia tidak lagi berbaring di dekat kipas
angin tua dengan suara jangkrik mengerik itu. Dia di hadapan saya sekarang.
“Saya tidak tahu harus menulis apa,”
ucap saya sembarang. Saya menunjuk kertas-kertas kosong, berhamburan di atas
meja. Mengisyaratkan agar dia melihat.
Dia cuma melirik sekali. Mengendikkan
bahu. Tidak peduli. Lalu tanpa merespon saya sedikit pun, dia mulai mengitari
kamar, bolak-balik di depan lemari rias. Lemari rias yang harusnya berisi bedak
dan segala macamnya itu dipenuhi buku-buku dan sebuah toples. Toples kaca
berisi daun-daun kering.
“Inilah manusia … yang begitu cepat
melupakan,” Altra menggumam. Saya tahu jelas, sebenarnya, kalimat itu ditujukan
pada saya.
Udara siang itu seperti uap dalam panci
rebusan air. Panas dan gerah. Saya tak tahan untuk tidak cepat-cepat ke lantai
bawah mengambil segelas minuman dingin. Di anak tangga, saya melanjutkan
lamunan. Menyusun kepingan-kepingan jawaban tentang apa yang mestinya saya
lakukan.
Hal yang tidak pernah saya khawatirkan
adalah melihat Altra marah. Seberapa lama pun saya membuatnya menunggu, dia
akan baik-baik saja dan menyambut saya dengan senyumnya yang selebar pisang.
Atau … misalnya, saya menumpahkan semua perasaan sebal dan lelehan air mata di
bahunya, dia juga tetap akan seperti itu. Tetap menjadi Altra yang datar.
Cuaca bisa berubah kapan saja bahkan
ketika kita belum sempat menebak. Bangunan-bangunan kota juga. Beberapa hari
lalu, di sebuah tempat di Makassar, saya merasa segerombol jin sedang rapat
paripurna di sana. Baru satu bulan tak melintasi tempat itu, dan ya Tuhan,
gedung pencakar langit sudah mengangkang. Dan, rasa-rasanya, si datar itu juga
mulai berubah.
Bersambung ….
Makassar, 21 April 2014
0 komentar