MIWF dan Cinta Tak Selesai

Minggu, Januari 05, 2014



Hutang 1.
           
Tulisan ini akhirnya menjadi tumbal pertama keleletan saya. Penebus janji 2014; memosting tulisan apa saja setiap hari. SETIAP HARI. Dan, ya Tuhan, sampai tanggal lima begini saya belum sempat menulis apa pun. Jika kamu menemukan klise di sini, maklum saja, ini tulisan jaman baheula, saat saya masih terjebak di dunia perasaan yang tak seharusnya. Hehe. Sekarang insyaallah tidak lagi. Malam ini memang malam pelunasan hutang-hutang. Semoga. ^^
Oh ya, tulisan ini rasa-rasanya basi sekali, tidak tepat momen. Lagi, maklumilah! Hihi. 

                                     Dua orang dalam gambar itu, entah siapa. Soalnya ini asal jepret.



Oleh: Dikpa Sativa


“Mala…!”
           
Aku kaget mendengar teriakan itu. Dalam sekejap, sebuah tinjuan pelan telah mendarat di lenganku, membuyarkan konsentrasiku pada buku yang kupegang. Lalu kurasakan jantungku berdetak sangat cepat. Tidak beraturan. Menunduk adalah pilihan terbaik. Mata itu… ah… aku tak ingin mengenangnya.
           
“Mala juga volunteer?”
           
Kudengar dia bertanya pada teman-teman volunteer lain. Bisa kupastikan mereka menggeleng. Tak ada yang mengenalku dengan nama itu. Aku masih bergeming, sempurna salah tingkah. Kenapa dia harus hadir malam ini? Kenapa begitu tiba-tiba? Aku bahkan belum mempersiapkan perasaanku. Dia kembali mendekat.
           
“Kau pakai nama apa di sini? Mala atau Mhea?”
           
Dia bertanya dengan suara diriang-riangkan. Berusaha mencairkan suasana. Aku masih beku. Jemariku basah. Hatiku basah. Aku ingin memeluknya juga memukulnya sekeras yang kubisa. Tapi, aku hanya diam.
           
“Mhea.” Jawabku pelan.
           
“Ma-la He-ria-na.” Dia mengeja namaku. “Kau lebih dikenal dengan nama penamu sekarang. Hebat. Kau volunteer, kan?” Dia kembali bertanya. Dia lupa pernah menyisakan sakit di sini, di hatiku.
           
“Ya.” Aku bersuara singkat.
           
“Hei… kau kenapa? Harusnya kau bahagia bisa bertemu denganku malam ini. Sudah sangat lama, bukan? Mala… ah maaf, Mhea… aku rindu tatapan itu. Aku rindu senyum itu. Aku rin…”
           
“Tak ada yang perlu dirindukan.” Potongku ketus.
           
Dia tidak berubah. Selalu hangat dan ramah. Suara riangnya masih seperti saat aku jatuh cinta pertama kali padanya. Hanya saja… ah, mencintai dan membencinya adalah dua sisi yang hampir sama.
           
“Silakan, Kak! Oh, yang itu harganya enam puluh ribu. Kalau beli sekarang, bisa langsung minta tanda tangan penulisnya lho! Mumpung beliau sekarang ada di sini ikut MIWF!” aku kembali menjajakan buku-buku. Berusaha tak mempedulikannya.
           
“Makassar International Writers Festival… ya… ya!”
           
Kudengar dia bergumam. Membawaku pada sebuah janji satu tahun lalu. “Tahun depan kita harus menyaksikan MIWF bersama.” Malam ini janji itu tertepati dengan paksa, dengan perasaan berbeda.
           
Pengunjung beralih ke meja sebelah. Aku kembali pura-pura sibuk membaca. Mataku entah melihat larik yang mana. Semua menjadi kabur. Jantungku ingin dijeda dengan sebuah helaan napas panjang. Setelah helaan itu, sebuah tangan menggamit lenganku. Aku terus menunduk agar mata kami tak bertemu.
           
“Kau kenapa...? Kau tahu, kau telah mematahkan hatiku, padahal kau tinggal di dalamnya.” Dia diam lalu mencoba menatap mataku, mengarahkanku untuk memandang bulan yang menggantung di langit, “Aku telah menitipkan perasaanku di sana. Jadi kalau kau rindu, kau cukup melihat bulan itu.”
           
Dia tersenyum. Aku tersenyum. Perasaan itu cair beberapa detik. Tidak lama. Detik berikutnya aku kembali mengundang perih memenuhi kepalaku. Sederhana, aku takut mengakui apa yang ada dalam hatiku.
           
“Sudah sangat lama kita tidak duduk membincangkan perihal perasaan kita. Kau tahu, setelahmu, tak ada lagi siapa-siapa. Tak ada Mala-Mala lain.” Dia menggombal.
           
“Basi.” Aku berbalik. Dengan cekatan dia menahan lenganku.

“Ada apa? Kenapa kau begitu sombong malam ini?”

“Pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan. Harusnya kau mengerti.”

Dia diam. Aku diam. Pikiranku melesat ke lima bulan lalu.
**
           
“Kita putus.” Suara itu terdengar serak dan singkat.
           
Aku yang terdiam cukup lama berusaha menahan tetes-tetes air dari mataku. Sesak. Sakit. Aku butuh banyak penjelasan.
           
“Jangan cengeng, ini adalah keputusan terbaik.”
           
“Tapi kenapa?”
           
“Karena kita harus fokus mengejar mimpi masing-masing. Fokus kuliah, belajar dan memperbaiki diri.”
           
Keputusan yang mulia. Aku menerimanya dengan senang hati. Tentu saja. Tapi ucapannya kala itu berbanding terbalik dengan apa yang kulihat dan dengar. Ada seseorang di balik semuanya. Seseorang yang disukainya diam-diam. Seseorang yang wajahnya terpampang berdua dengannya di beberapa foto yang disodorkan sahabatku. Dan, aku benar-benar luka.
           
“Kau selingkuh!” ucapku suatu hari.
           
Dengan santai dan tanpa rasa bersalah, dia berkata datar, “Selingkuh? Kita sudah putus. Ha… ha… ha… tidak pacaran kok dituduh selingkuh. Aneh.”
           
“Tapi katamu… kita putus untuk fokus mengejar mimpi, untuk…”
            “Sudahlah… kita jalani hidup kita masing-masing. Kau boleh dekat dengan siapa pun, begitu juga aku. Percayalah… nanti kita akan kembali bersama di waktu yang tepat.”
           
Aku menghela napas. Teori macam apa ini. Akan kembali di waktu yang tepat? Omong kosong. Sakit dan kesal menguasai seluruh hatiku. Aku menangis sepanjang malam.
**
           
“Harusnya kau percaya padaku. Tak ada Mala lain. Jeni yang sangat kau cemburui itu, aku tak pernah memperlakukannya seistimewa kau. Kami dekat, berteman, sebatas itu.”
           
Kami berdiri bersebelahan di bawah kapel Rotterdam. Memandang lurus ke arah panggung MIWF. Di sana, sudah berdiri dua orang MC. Sebentar lagi acara dimulai.

Dia yang datang dengan kemeja kotak-kotak berwarna merah, celana jeans, dan topi di kepalanya terus bicara. Meyakinkanku. Berusaha mencairkan suasana beku dalam kepalaku. Aku menunduk, menghela napas dan berusaha memperbaiki perasaan.

“Apa kau tak merindukanku?” dia melirikku sekilas, “Dulu kita pernah membaca puisi di sebuah panggung. Harusnya kita melewatkan malam ini untuk mengenang itu. Tentu saja tanpa benci.” Dia tersenyum. Aku diam. Dengus napasku seperti berantakan.

“Sudahlah… jangan membicarakan rindu.” Aku bersuara.

“Kau membenciku. Tapi, barangkali di balik benci itu ada cinta yang kau sembunyikan.”

Pernyataan itu kuiyakan dalam hati. Aku masih menyimpan cinta itu. Tapi sudahlah, tak ada yang perlu diperbaiki. Ini jalan terbaik. Bukankah pacaran dulunya membuat kita membuang-buang waktu? Kau memutuskan sesuatu yang tepat, Lan.

“Aku tidak membencimu, Lan. Tidak pernah. Aku hanya pura-pura.” Kata-kata itu meluncur begitu saja. Tulus. 

Alan tersenyum. Juga aku. Kami menyusuri jalan setapak yang dikelilingi rumput hijau, menuju panggung utama. Dan menit-menit berikutnya, puisi-puisi dari beberapa penyair menghipnotis mata dan telinga kami.

Alan bersuara pelan, “Kembalilah….”

Aku menggeleng. Tertawa kecil.

“MIWF ternyata tak berhasil menuntaskan perasaan kita.” Dia berseloroh.

“Ya. Karena cinta kita memang tak pernah selesai.”

“Jangan pacaran. Kejar mimpimu dan datanglah di waktu yang tepat.”

Tawa kami dan puisi-puisi itu bercampur di udara.

***
Makassar, 27 Juni 2013


You Might Also Like

1 komentar

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger