Tentang Alena #1
Jumat, September 06, 2013
Dia bernama Alena. Saya senang
memanggilnya Alena Moksa dan melihat senyum mengembang di pipinya. Manis
sekali. Suatu waktu dia bertanya perihal kata yang saya sematkan di belakang
namanya, dan saya hanya menjawab bahwa saya menyukainya. Saya suka menyebut
namanya dengan tambahana kata itu, moksa.
Saya mengenal Alena sejak kecil dan kami
hampir bersama di setiap waktu. Menghabiskan pagi dengan mengumpulkan
kerikil-kerikil berwarna putih di depan rumah, bermain masak-masakan, atau
bersepeda mengitari kampung dengan keranjang penuh bunga. Kami juga sering
berlomba menghitungi bintang kala malam. Berteriak ketika ada bintang jatuh,
memejam lalu merapal doa. Adegan yang kami tiru dari “Kuch Kuch Hota Hai.” Film
bollywood yang saat itu sedang booming dan menular seperti lepra.
Alena sering lupa waktu ketika
berhadapan dengan buku-buku. Dia begitu cinta membaca. Sama seperti cintanya
pada bunga mawar, gumpalan awan putih, gemericik air dan hujan. Karena Alena,
saya menjadi ikut mencintai semua itu.
Sekarang Alena sudah tumbuh dewasa.
Rambutnya panjang hingga menyentuh pinggang. Kulitnya sawo matang. Hidungnya
mancung, tapi jangan membayangkan dia seperti keturunan Arab atau India. Ini
mancung versi Indonesia. Dia tidak tinggi, dan menurutku, tidak juga pendek. Dia
mungil. Dan, dia benci berdandan.
Pernah di suatu pesta, saat itu usianya
duapuluh dua tahun lebih lima bulan, Ibunya uring-uringan dan menatapnya kesal.
Penyebabnya sepele, dia datang ke pernikahan sepupunya hanya dengan memakai
baju pengajian Ibunya, dan tidak berdandan. Malamnya, dia curhat pada saya
berpanjang lebar.
Dia selalu bilang pada saya bahwa Ibunya
sangat baik. Ibu nomor satu di dunia. Dia mengatakan itu setelah saya
menanyainya soal sikap Ibunya tempo hari. Dia menambahkan, Ibunya tidak mau
melihat anak-anaknya berada pada keadaan menyedihkan, seperti hari itu. Saat
orang-orang tampil dengan baju-baju mewah dan bedak juga gincu yang tebal, dia
hanya tampil dengan baju gamis berwarna ungu, jilbab segiempat tanpa
embel-embel, dan tidak berdandan. Ibunya bernasihat bahwa sudah saatnya dia
memerhatikan dirinya. Alena menjawab dengan senyum paling manis dan
kalimat-kalimat ampuh, “Yang penting rapi dan bersih, Bu. Saya merasa nyaman.
Ibu tahu, kan, saya tidak pernah suka berdandan?” Setelahnya, Ibunya tidak
pernah lagi menyuruhnya melakukan hal yang kebanyakan dilakukan gadis remaja
itu.
Ada banyak yang ingin saya ceritakan
tentang Alena. Tentang kincir kehidupan miliknya yang kini sedang diterpa angin
besar. Tunggulah … mungkin di tulisan saya berikutnya.
***
0 komentar