Rindu Pagi (FAJAR, 08/09/2013)

Minggu, September 08, 2013

Oleh: Dikpa Sativa

Sudah berapa lama kita tidak menikmati matahari lahir dari balik pohon mangga di samping rumah? Dua hari, lima hari, atau … ya, aku tahu, kita tidak perlu menghitungnya. Cuma ada ini; diam dan menangis sembunyi-sembunyi di kamar mandi.
           
Kita tidak perlu membahas perihal berapa kali kita leluasa berkejaran kala pagi atau ribut rebutan nasi goreng di bawah tudung saji. Kita lebih banyak diam sekarang. Menabung kata-kata untuk ditumpahkan saat senja merangkak. Ini pilihan terbaik, bukan? Daripada berbohong lebih sering. Ah tidak, ada pilihan lain. Sayangnya, hati kita terlalu sesak untuk menampung makian.
           
Berkas-berkas cahaya menerobos masuk lewat ventilasi dan saat itu kita mulai menghitungi jam. Pukul enam, tujuh, dan tepat pukul delapan, kita seperti melesat ke dalam kotak kemelaratan yang dindingnya dicat dari campuran ketakutan dan perasaan bersalah.
           
Kau, adikku satu-satunya, memilih tenggelam dalam buku-bukumu setiap kita selesai menghitungi jam. Sedang aku, dari balik jendela kaca hitam tebal, memandang sedih pot-pot bunga yang tanahnya mengering. Kadang, kita juga memaksakan diri bercanda, berbisik-bisik. Setelahnya, kita akan mengenang tubuh kekar Etta yang tak lelah kerja berlama-lama. Dan ini sering membuat kehilangan makin kentara.
           
Pagi-pagi sekali Mamak akan berpamitan pergi. Bekerja. Menggantikan pekerjaan rumah seorang istri yang terlalu sibuk di kantor. Mengepel, mencuci, menyapu, bahkan mengurusi anak-anaknya. Tak ada istirahat hingga petang membungkus kota. Hingga polusi kendaraan mengepul di langit dan membuat dada kehabisan udara segar.
           
“Aku merasa sesak,” katamu suatu pagi.
           
“Ada apa?” tanyaku basa-basi. Ah … bukankah jawabannya sudah jelas.
           
Kau tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya menunduk dan berusaha menyembunyikan air mata yang sebenarnya sudah kutahu ingin tumpah. Lantas, kau akan lari ke kamar mandi, menelungkupkan wajah di bawah jemari. Tangismu keluar pelan.

Aku menghela napas. Oh Tuhan, kehidupan benar-benar seperti kincir. Dan kincir itu diterpa angin sekarang, terlalu cepat berputar. Terlalu cepat membalikkan keadaan.

Pulang mengajar, Etta biasanya membawa sekantong oleh-oleh. Buah-buahan, kue, atau buku-buku bacaan. Sementara Mamak sibuk menyiapkan masakan yang dipenuhi bumbu kasih sayang. Kita? Tentu saja, bingung memilih. Perut lapar atau rasa penasaran dengan buku-buku keluaran terbaru. Dan semuanya berakhir dengan tawa di meja makan. Penasaran disabar-sabarkan untuk menunggu.

Setiap pagi, di pekarangan, deretan bunga mawar dan melati mengeluarkan aroma tubuhnya, merayu untuk segera dijenguk. Pohon mangga di samping rumah merentangkan tangannya, menawarkan pelukan terhangat. Di baliknya, matahari lahir menakjubkan. Di sana, di bawah pohon itulah aku, kau, Mamak dan Etta menghabiskan pagi dengan menyesap teh berwarna jingga. Itu dulu, dua tahun silam. Saat Etta belum dipanggil pulang ke tempat paling tenang.
           
“Pintu dan jendelanya ditutup lagi?” pertanyaan berulang yang kulontarkan sembari menyudahi kepakan pakaian dalam kardus.
           
“Kemarin Kakak juga bertanya begitu.”
           
Harusnya aku tidak bertanya. Jawabannya sudah jelas, karena begitu banyak orang yang kehilangan hati. Begitu banyak orang cuma mementingkan diri sendiri. Dan, ada begitu banyak orang miskin yang tak ingin lagi luka perasaannya. Termasuk kita.
           
“Aku rindu melihat embun menetas di ujung daun bunga mawar di samping pohon itu. Menyaksikan jingga mentari yang perlahan biru,” ucapmu lagi seperti bergumam. Pandanganmu lurus keluar jendela. Aku tahu, ada bola bening yang sebenarnya ingin luruh dari ujung matamu. Kau lagi-lagi berlari ke kamar mandi.
           
Aku hanya terpaku. Bingung bagaimana cara membujukmu. Tangisku juga hampir tumpah. Kupandangi seisi rumah hingga langit-langitnya. Rumah yang hampir kosong karena perabotnya habis terjual. Lamat-lamat kudengar isakanmu mengeras.
           
”Kau sudah kelas dua SMA, Wella. Tidak pantas lagi meraung!” ucapku dari luar kamar mandi. Aku menghela napas, mengatur suara agar tak bergetar, “Keluarlah, kita akan menikmati pagi.”
           
Pintu itu berderak, terbuka dan kau keluar dengan wajah masih sembab. Aku bergegas, membuka semua jendela dan pintu. Kau tahu, kita akan bebas, kembali hidup seperti biasanya.
           
“Kita akan menikmati pagi di bawah pohon itu, seperti dulu.” Suaraku terdengar hambar. Kau tersenyum, yang juga hambar. Ada kesedihan berlipat-lipat dalam hatiku, hatimu. Perlahan, kita menghirup udara segar di atas bangku di bawah pohon mangga.
           
“Hari ini hari terakhir Mamak bekerja. Dia janji cepat pulang dan kita akan menghabiskan senja bersama. Di bawah pohon ini.”
           
“Makanya kau jangan terlalu sedih. Hidup itu seperti kincir, terus berputar. Nanti kita akan kembali pada posisi yang dulu. Percayalah. Kita harus kuat, harus tegar!”
           
Setelah itu kita urung berkata-kata. Hening beberapa jeda hingga orang-orang itu datang lagi. Silih berganti dengan wajah garang dan bibir penuh makian.
           
“Janji … janji terus. Saya tidak mau tahu, besok kalian harus membayar semua hutang-hutang itu berikut bunganya!”
           
Inilah alasan semuanya. Sesuatu yang kerap membuat dada kita berombak, sesak. Yang memaksa kita berbohong untuk mengatakan besok, atau lusa atau bulan depan. Yang membuat kita menutup jendela-jendela dan pintu lalu mengecilkan suara karena tak betah menahan makian. Hutang-hutang untuk pengobatan kanker otak yang diderita Etta itu menumpuk dan beranak pinak. Lintah darat.
           
“Iya, besok kami akan melunasi semuanya,” ucapku tegas tapi hambar. Tidak hanya satu lintah darat. Setelah kuhitung-hitung, ada tujuh orang. Mamak terpaksa meminjam kesana kemari demi kesembuhan Etta. Tapi Tuhan berkata lain, merencanakan hal lain. Aku menegakkan punggung, menghela napas panjang-panjang.
           
“Semua barang sudah dikepak, Kak.”
           
“Hmm …, ya. Kau tahu, Wella dan Tenri itu kuat. Lebih-lebih Ibu.”
           
“Ya, aku tahu.”
           
Kita lagi-lagi diam. Suara kita tertelan sunyi. Mata kita menatap sedih rumah bercat biru yang sebentar lagi kita tinggalkan. Dijual untuk membayar hutang-hutang. Kehilangan yang tak rela, bergelantungan di sana.
           
Malam itu, dengan tangis tertahan, kita saling memandang hampa. Berulang kali Mamak mengucap maaf yang kita jawab ‘tak apa’ dan telah bangga menjadi anaknya. Malam itu, sebuah bus akan membawa kita pada catatan baru. Meninggalkan Makassar menuju kampung halaman Mamak. Malangke, Luwu Utara.

***
Makassar, 25 Agustus 2013

Catatan:
Etta = Bapak

You Might Also Like

0 komentar

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger