Ibu Meli - Harian Cakrawala Makassar (24 Mei 2014)
Sabtu, Mei 24, 2014
Hampir setiap malam, Cullang
menghabiskan waktunya duduk-duduk tidak jelas dengan teman-temannya di depan
toko samping rumah. Sudah lama sekali dia kehilangan selera membaca buku-buku
pelajaran. Huruf-huruf dan angka dalam buku itu, ketika dibuka, seketika menari
dan karut marut. Hanya membuatnya pening. Karena itulah, sejak penaikan kelas,
dia meminta berhenti sekolah pada Ibunya. Ibunya bingung, tak punya daya
menjejalkan keinginan pendidikan tinggi pada anaknya. Karena, toh, dia sendiri
kehilangan keyakinan soal itu.
Cullang tidak punya mimpi seperti
teman-temannya di sekolah. Baginya, mimpi paling baik adalah bisa punya uang
banyak dan makan enak hari ini. Bukan jadi guru, dokter, polisi, atau pekerjaan
lain yang berseragam. Ibunya sendiri selalu mengeluh, “Sekolah memang gratis,
tapi kamu pikir seragam dan buku-bukumu itu jatuh dari langit?” Karena itu,
Cullang berhenti sekolah. Agar kerut lelah di wajah ibunya tidak makin banyak.
Malam-malam saat dia duduk-duduk sembarang,
sebenarnya, kepala Cullang disesaki banyak pertanyaan. Semisal, kenapa orang
dewasa suka sekali berbohong? Dia ingat ibu Meli, gurunya, yang berkoar-koar
akan membantu siswanya yang kurang mampu di suatu senin pagi cerah yang dia
lupa tanggalnya. Namun, di senin pagi yang lain, namanya disebut-sebut dan
ditertawai hampir seisi kelas karena belum bayar uang buku.
Di malam lain, saat wajah ibunya sedikit
cerah karena habis gajian, dia menggelendot manja. Pekerjaan ibunya sebagai
kasir di toko kue memang sampai malam hari, sehingga waktu kian sempit untuk
mereka berdua.
“Bu, aku tidak suka dengan ibu Meli!”
ungkap Cullang malam itu, mengawali pembicaraan.
Ibunya mendesah panjang. Menancapkan
pandangan di langit-langit penuh jelaga. Sedikit hampa. Tangan berkeriputnya
mengusap-usap kepala Cullang.
“Jangan bilang begitu. Kita tidak boleh
membenci orang lain. Tuhan tidak menyukainya,” ucap Ibunya dengan menekan
suara. Berusaha menyabar-nyabarkan.
Cullang menyelonjorkan kaki, sebelah
tangannya memukul-mukul manja lengan ibunya. Dia anak tunggal, kelas lima
sekolah dasar, namun belum mengerti arti cita-cita.
“Tapi Tuhan juga tidak menyukai
pembohong,” sanggahnya. Dia ingat ustadz-ustadz di televisi, bahkan ibu gurunya
sendiri pernah bilang begitu.
Ibunya menghela napas, lagi.
“Karena itu … jangan membenci dan
berbohong.”
Cullang mengangguk. Mengerjap-ngerjap. Tidak
memedulikan kalimat ibunya. Dan … berbicara lagi.
“Bu … ibu tahu tidak, kalau ibu Meli
pembohong?”
“Hushhh …!”
“Kata Bapak, perut orang yang suka
bohong akan membuncit. Perut ibu Meli buncit. Berarti …,”
“Sudah … pergi tidur sana!”
Ibunya kehilangan kata-kata. Terpekur
lama, memikirkan nasib anaknya—nasibnya. Sekolah Cullang yang ditinggalkannya
beberapa hari lalu adalah sekolah terdekat. Di kota ini ada banyak sekolah,
namun, sekolah lain jaraknya lumayan jauh. Seragam dan buku-bukunya juga lebih
mahal dan dia tidak mampu memenuhi itu untuk anaknya, Cullang. Alasan
sebenarnya, yang ditutupnya rapat-rapat, adalah karena rasa benci telah
mengakar di dadanya. Napasnya menyesak tiap kali mengingat siapa yang akan
mengajar anaknya di sekolah itu.
“Tuhan tidak suka pembenci. Apa orang
dewasa memang dipenuhi maaf, Bu?” tanya Cullang lagi.
Ibunya terkesiap. Otot-ototnya seperti terkunci.
Hatinya seolah terbaca.
“Tidurlah … sudah larut!” suara itu
terdengar lemah dan serak.
Cullang bergeming menatap punggung
ibunya yang menjauh. Di dalam kamar, ibunya menumpahkan semua air mata. Hatinya
terasa kering sekali.
Sebelum tidur, Cullang masih sempat
bergumam, “perut tante Ria buncit tapi dia baik sekali. Berarti Bapak bohong.
Mungkin, karena Bapak bohong jadi perutnya buncit. Tapi ….”
Cullang membuang napas kasar. Pusing.
Bingung. Lalu jatuh tertidur.
**
Berlembar-lembar malam lewat cukup
membuat Cullang memahami sesuatu. Membuatnya tak ingin lekas dewasa. Dia takut
mendewasa dengan cara orang-orang di sekitarnya. Penuh kepura-puraan.
Saat matahari di atas ubun, Cullang
mendekamkan diri di rumah. Sendiri. Kondisi seperti ini kerap membuatnya
terserang rindu dan benci sekaligus. Rindu pada bapak yang dulu rajin sekali
menggendong dan menasihatinya, menceritakannya perihal-perihal baik dalam
hidup. Dia benci jika yang melintas adalah wajah ibunya yang lelah dan menua.
Dia benci pada bapak yang membuat ibunya seperti itu. Membuat ibunya
mengeringkan air mata setiap malam.
**
Ibu Cullang melemas dan duduk di
sembarang kursi di ruang tamu. Tatapannya kali ini adalah campuran sedih dan
hampir putus asa. Kabar yang bertengger di depan pintu dari mulut-mulut
tetangganya kini menyerbuk dan memenuhi kepalanya. Dia tidak kuat lagi berjalan
ke luar rumah. Dia memilih menunggu.
Wajah terlipat Cullang seketika pias dan
pasi. Langkah gontainya juga terhenti ketika mendapati ibunya sedang menunggunya
di ruang tamu dengan raut tak menyenangkan.
“Benar apa yang dikatakan orang-orang?”
Pertanyaan itu langsung menohok. Cullang
bergeming. Tidak menjawab. Keringat meluruh di dahinya.
“Duduk …!” perintah ibunya.
“Benar kamu mencuri mangga Ibu itu?”
tanya ibunya lagi.
Cullang menunduk dalam. Suaranya
bergetar, “sa … saya hanya kesal padanya, Bu!”
“Kesal padanya bukan berarti kamu boleh
mencuri …!” suara ibunya meninggi. Wajahnya memerah.
“Saya tahu, Bu. Tapi dia juga mencuri …”
Cullang menggigit bibirnya kuat-kuat dan
terus menunduk. Dia tidak sanggup memandang wajah ibunya yang luka. Ibunya yang
kini bersuara lagi. Lemah. Matanya mulai basah.
“Perempuan itu pasti sudah melapor ke Bapakmu,
dan …” Ibu Cullang sesenggukan, “dan … Bapakmu yang sialan itu akan menyalahkan
Ibu!”
Cullang terdiam. Hening. Luka yang
dirasakan ibunya menjalari hatinya. Nyeri sekali. Dia tak kuat lagi menahan
matanya untuk tidak menangis.
“Saya hanya ingin dia tahu bagaimana
rasanya kecurian, Bu. Ka … karena …” Cullang menghela napas pelan, “bukankah … ibu
Meli telah mencuri Bapak dari kita?”
Hening lagi. Tubuh Cullang masih
bergetar. Tangan keriput ibunya merengkuhnya, erat.
Sekarang Cullang punya satu alasan
kenapa harus bermimpi, harus menjadi anak baik. Agar ibunya tidak menangis
lagi. Agar ibunya bisa tersenyum seperti tetangga-tetangga di samping rumah. Agar
bapaknya pulang. Ah, tidak … tidak … dia tidak ingin mengambil bapaknya dari
ibu Meli.
Masih hening. Air mata mereka belum
reda.
***
Untuk seorang ibu yang ditinggal
pergi suaminya.
8 komentar
keren kaaaaaaaaaaaak :)
BalasHapusMakasih, ya. :)
HapusJempol buat kakak..:)
BalasHapusMakasih Nhia. :)
HapusSelamat untukmu, Kakak. Aku cemburu :'( huuaaahhh.
BalasHapusBacaan menarik sekali di pagi ini... :)
BalasHapushttp://chemistrahmah.com
Terima kasih, mbak Rahma. Tulisan-tulisan mbak Rahma juga keren. :)
Hapus"Dia takut mendewasa dengan cara orang-orang di sekitarnya. Penuh kepura-puraan."
BalasHapusAduh kata-kata di atas menjadi ratu paling bahagia menurutku. Kalau di dunia musik, dia adalah Guest Strart!