Mawar Terakhir
Jumat, Oktober 19, 2012
“Aku tak pernah tahu siapa yang
mengirimnya.”
“Apa?”
“Mawar-mawar itu.”
“Kamu suka?”
“Siapa?”
“Mawar itu.”
Ray hanya tersenyum.
Tak ada kata. Hanya menyisakan tanya dalam hatiku. Tuhan…apa Ray suka dengan
mawar-mawar itu? Apakah dia menyukai pengirim mawar itu? Aku menyayanginya,
Tuhan.
**
Entah sejak kapan
langit-langit kertas malamku dipenuhi lukisan wajahnya. Wajah dengan hidung
yang tak mancung, kulit yang tak putih, bibir yang juga tak merah. Wajah yang
sangat biasa. Tapi entahlah, mengapa mampu melenyap pekat dalam tidurku.
“Silakan duduk. Biar
aku yang berdiri.” Laki-laki itu beranjak dan memberikan kursinya padaku.
“Terimakasih.” Ucapku
singkat dengan wajah tertunduk.
Dalam bis kota yang
sesak penumpang dan angkuh dengan individualisme, masih ada sosok yang peduli
dengan yang lain. Ah wajah teduh itu, siapa namanya. Aku meringkuk dalam malu.
Tak berani walau hanya sekedar mengungkap tanya.
“Ray.” Ucapnya kemudian
sambil mengulurkan tangan.
“Ros…Rosalina.” Ucapku
terbata.
Pertemuan singkat senja itu membuatku
menggumamkan beribu kagum. Laki-laki berwajah teduh itu, namanya Ray.
**
Tak pernah ada
yang salah dengan rencana Tuhan. Siang itu saat debu-debu jalan mengepul
memenuhi trotoar kampus, aku kembali bertemu dengannya. Ray, laki-laki berwajah
teduh. Pertemuan kedua yang kembali menyisakan rasa aneh dalam hatiku. Entah
apa.
Aku
masih mematung di hadapannya. Kelu. Tak ada kata yang dapat kuucap. Aku bingung
merangkai tanya. Laki-laki itu kembali nyata setelah berhari-hari hanya
menyiksa mimpiku. Yang hanya menjadi ilusi dalam gigilku.
“Hai
aku juga kuliah di sini. Fakultas kedokteran.” Kalimat itu membuyarkan diamku.
“Di
sini? Sejak kapan?” Ray kuliah di sini? fakultas kedokteran? Tapi mengapa dia begitu asing. Bukankah
fakultasnya hanya sepelemparan batu dari fakultasku?
“Mulai
hari ini. Aku ikut pertukaran pelajar. Sebenarnya aku mahasiswa dari Jawa. Oh
ya, semoga kamu mau bersahabat denganku.” Selorohnya ramah. Aku hanya
tersenyum.
Sejak siang itu,
aku benar-benar dekat dengan Ray. Mulai dengan bertukar nomor telepon, saling
tanya tentang ini itu dan berbagi dalam berbagai momen. Ray, aku, benar-benar
sempurna menjadi sepasang sahabat. Dan rasa aneh itu, makin sering saja mengusik.
Makin tak jelas. Kekaguman yang hanya beberapa detik dalam bis tempo hari makin
betah berlama-lama menghias hatiku.
“Kamu
lagi dimana Ros?”
“Di
kampus. Kenapa Ray?”
“Tunggu
aku di depan fakultasmu. Jangan kemana-mana.”
Aku
tak mengerti mengapa suara Ray terdengar begitu panik. Tak ada penjelasan. Dan
aku, hanya diam menunggu seperti perintahnya.
“Ada
apa Ray?” Tanyaku sesaat dia tiba. Wajahnya kuyu.
“Ada
tawuran di depan kampus. Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa.”
Pernyataan
itu benar-benar meluluhkan hatiku. Membuatku serasa diguyur air dingin di
tengah terik. Ray, laki-laki yang begitu perhatian dan menghormatiku. Yang
membuatku menyimpan rasa dalam akrabku. Yang terus membuatku menyusun ide-ide
gila agar dia menyukaiku. Tapi semuanya hanya dalam diam. Aku tak ingin
kehilangan dia sebagai sahabat.
“Kamu
sudah tahu siapa orangnya?”
“Maksudnya?”
“Perempuan
pengirim mawar.”
“Tidak.
Memang pengirimnya perempuan?”
Ray,
selalu saja begitu. Tak pernah menanggapi tanyaku dengan serius. Padahal aku
ingin tahu. Ingin tahu apa yang dia rasakan sebenarnya. Perempuan mawar itu,
yang hampir setiap hari mengirim setangkai mawar untuk Ray, apa Ray
menyukainya? Pertanyaan itu setia menemani ujung-ujung malamku. Apa Ray
menyukaiku? Atau aku hanya sahabat baginya? Tak lebihkah? Semuanya berkecamuk
dalam gigil sepi.
“Ros…kamu
tahu apa arti cinta?”
“Hmm…rasa
yang tak cukup terdefinisi dalam kata.”
“Bagiku,
cinta adalah sayang yang akan selalu sama meski ada jeda.”
Aku
terdiam. Lekat kupandangi wajah teduh di hadapanku. Angin menggelitikku
merangkai beberapa tanya. Apa maksud Ray, cinta yang berjeda? Apa dia telah
memiliki cinta di seberang sana? Cinta yang kini harus berpisah sementara.
Danau di depanku tak lagi indah. Pernyataan Ray barusan benar-benar membekukan
asaku. Aku, hanya cinta bertepuk sebelah tangan. Perempuan mawar itu, bagaimana
nasibnya? Ah aku kembali terpikir tentangnya.
Pertemuan
di tepi danau senja itu mengukir lukisan luka dalam dinding rasaku. Berbait
syair pilu kutulis pada berlembar-lembar kertas. Aku patah hati, tak dapat
kupungkiri itu. Seminggu lagi dan Ray akan benar-benar pergi. Kembali ke
kampungnya, menemu cintanya yang berjeda. Seminggu, waktu yang kuputuskan untuk
tak sekalipun menemuinya. Wajah teduh itu, aku tak sanggup melihatnya.
**
“Ros…kamu
dimana?” Aku diam.
“Ros,
apa kamu marah padaku? Apa aku punya salah?” Aku masih saja diam. Buliran
hangat luruh dari mataku.
“Setengah
jam lagi aku berangkat. Aku sangat mengharapkan kedatanganmu. A…Aku…”
tut..tut…handphone kumatikan.
Tanpa
pikir panjang aku bergegas menyusul Ray di bandara. Bagaimanapun, Ray adalah
sahabatku. Laki-laki berwajah teduh yang sangat kucintai. Sekalipun Ray tak
mencintaiku, aku tak seharusnya egois. Aku akan menemuinya.
“Ray!” teriakku pada sosok di sudut ruang
tunggu. Dia menoleh. Memandang lekat sosokku yang mendekat.
“Ros…akhirnya
kamu datang. Aku menunggumu dari tadi.”
“Ray
maafkan aku!” mataku sayu menatapnya.
“Untuk?”
“Ray…aku…aku…”
“Aku
sayang kamu Ros.” Aku tercekat. Kalimat itu benar-benar membuat gigil tubuhku. Aku
tak mengerti. Sungguh, aku bingung dengan kalimat Ray barusan.
“Maksudnya?”
Ucapku terbata.
“Kamu
adalah mawar terakhir untukku. Cintaku yang akan berjeda.”
Kalimat
itu menggetarkan tubuhku. Sedikit tak percaya. Ada haru dan bahagia yang
bercampur jadi satu. Tak lagi mampu terdefinisi. Aku lebih dari terkesima.
“Jadi
kamu sudah tahu siapa perempuan mawar itu?”
“Tidak.
Aku belum tahu siapa dia.”
“Perempuan
itu tak kan lagi mengirim mawar. Ini mawar terakhir darinya untukmu.” Kataku
pelan dengan setangkai mawar. Rasa dalam diam itu akhirnya buncah. Akhirnya
menemu muaranya. Ray…akulah perempuan mawar itu. Akulah pengagum rahasiamu.
Aku, yang selalu memeluk mayamu dalam gigilku. Dan aku, yang akan selalu setia
menanti hadirmu kembali, walau dalam jeda yang panjang. Kupandangi lekat-lekat
wajahnya. Wajahnya masih teduh, matanya menyiratkan haru. Ada cinta yang menari
lepas ingin memelukku. Ray, hanya satu kalimat untukku.
“Ros…tunggu
aku dalam purnama berikutnya.”
1 komentar
luar biasa.amazing.
BalasHapus