Formica Yessensis
Jumat, Oktober 19, 2012
Sudah hampir sebulan mentari hanya
mengintip malu-malu. Awan menggumpal kelabu, mendung. Siang sedikit, butiran
jarum dari langit sudah membentuk ritme kecipak air yang tenang. Jatuh membasuh
apapun yang dijumpainya. Sarang sebuah koloni
semut terancam.
“Kita harus melakukan
sesuatu, tidak lama lagi sarang kita akan hancur. Kita harus menyelamatkan telur
dan larva untuk menjaga kelangsungan koloni ini.” Ucapku pada Formica di suatu malam
bergemuruh petir.
“Iya ratu. Aku akan
melakukan apapun untuk keselamatan koloni.” Formica menatapku yakin.
Terlambat. Hujan turun
menderas. Sarang di bawah pohon kersen itu tak lagi terselamatkan. Hancur di
terpa angin dan air hujan yang mulai meninggi. Suasana seketika gaduh. Semut-semut
kecil menggigil. Dingin dan ketakutan. Formica dan beberapa semut pekerja
dewasa sibuk menyelamatkan telur dan larva. Aku menatap nanar pada sarang yang
telah dibangun susah payah itu. Hancur. Berantakan.
“Ayo anak-anak, cepat
naik ke atas pohon.” Kataku terengah.
Lima belas menit
berlalu dengan sangat berat. Semua terselamatkan. gemuruh petir yang mencakar
langit sudah reda. Langit mulai sumringah. Hanya tersisa tetes-tetes air di
ranting pohon. Semut-semut kecil dan semut pekerja, lelah. Beristirahat di
dahan yang basah.
“Tidurlah ratu, malam
sudah larut.” Kata Formica pelan. Aku tahu dia pasti sangat lelah. Gurat
wajahnya mengatakan itu. Formica, pekerja jantan yang begitu mencintai koloni.
Yang begitu setia mengikuti setiap langkahku. Malam ini dia kembali berhasil
menyelamatkan telur-telur dan larva.
“Dimana kita akan
membangun sarang baru Formica? Semua tanah membasah karena hujan. Dan akan
semakin sulit karena semua persediaan makanan hanyut terbawa air.” Aku menghela
nafas panjang. Ujung mataku menghangat. Tak terbayangkan bagaimana telur dan
larva akan bertahan jika keadaan terus seperti ini. Semut-semut kecil yang
terlelap tidur, mereka butuh makan.
“Tenanglah ratu Yessensis.
Semua ada jalannya. Kita adalah koloni yang kuat. Kita akan menyelesaikan semuanya
bersama-sama. Sekarang tidurlah. Ratu butuh isirahat yang cukup untuk kelahiran
telur-telur berikutnya.” Formica, dalam keadaan apapun selalu menenangkan.
Malam terus berjingkat.
Memekat. Desau angin dingin menusuk. Aku mulai jatuh dalam lelap, Lelah.
Formica, masih berdiri di ujung ranting. Entah apa yang dipikirkannya. Yang
pasti tentang koloni. Bagaimana koloni yang kuat ini bisa bertahan. Dan yang
pasti Formica membiarkan tubuhnya terjaga untuk memastikan keselamatan kami.
Andai dia betina, dialah yang pantas menjadi ratu.
Pagi-pagi sekali aku
sudah terbangun. Semut pekerja juga. Hanya semut-semut kecil yang masih
meringkuk lelah. Tapi kemana Formica, aku tak melihatnya.
“Pagi sekali dia sudah
pergi ratu. Entah kemana. Mungkin pergi mencari makan.” Jawab seekor semut
pekerja.
Hujan belum turun pagi
ini tapi mentari masih malas menampakkan diri. Gulungan awan kelabu. Langit tak
sepekat kemarin. Angin mulai bersahabat. Tak lagi mendesau dingin. Ada harapan
untuk bertahan, setidaknya demikian.
“Kita harus bergegas
pindah ratu. Aku dan seekor semut pekerja lain telah menemukan tempat yang
cocok.” Formica tiba-tiba berada tepat di belakangku. Aku tahu kepergian
Formica pagi ini memang untuk kami. Untuk keselamatan koloni.
“Tapi kita butuh makan
Formica, apa tak sebaiknya kita cari makan dulu?” Aku memberinya saran.
Lihatlah anak-anak semut malang itu. Mereka sudah menahan lapar sejak semalam.
“Ratu benar. Aku dan
semut pekerja lain akan pergi mencari makan. Aku sudah menemukan tempat makanan
itu, walau sedikit berbahaya.” Tak butuh waktu lama, Formica dan kawanan semut
pekerja segera pergi ke tempat makanan yang ditunjuk Formica.
“Lihatlah ada banyak
sekali makanan. Hore…kita akan makan enak siang ini.” Pekik seekor semut.
Tak perlu menunggu
aba-aba, semut-semut itu seperti terkomandoi dengan sendirinya. Mereka serempak
bergotong royong mengangkat remah-remah roti di atas lantai. Ada juga yang
mengangkat sendiri remah roti yang lebih kecil ukurannya.
“Semut kurang ajar.
Beraninya masuk kamarku!” Tiba-tiba terdengar suara menggelegar menggetarkan.
Sosok besar menakutkan itu siap menginjak kawanan semut.
“Ayo lari. Selamatkan
diri kalian!” Teriak Formica.
Kawanan semut pekerja
itu lari kebingungan. Menyelamatkan diri dan beberapa makanan. Mereka harus
membawa pulang makanan itu, anak-anak semut tengah kelaparan.
“Rasakan ini…!” Sosok
raksasa itu makin beringas menghentak-hentakkan kakinya. Kaki Formica patah.
Dia tak sanggup berlari.
“Ayo cepat. Kenapa
kalian berhenti? Ayo cepat bawa makanan-makanan itu. koloni kita
membutuhkannya.” Formica berteriak sekuat tenaga. Sekarang dia sendiri.
“Masih berani masuk
kamarku?” Suara itu terdengar lebih keras dan menakutkan. Formica tak mengerti
apa yang diucapkan makhluk besar di hadapannya. Dan sekali lagi kaki besar
makhluk itu menghentak ke arah tubuh Formica. Formica limbung tak berdaya. Dia
bahagia. Setidaknya dia bisa melakukan sesuatu yang berarti di akhir hidupnya.
Kawanan semut lain
hanya bisa melihat dari jauh. Sedih tak lagi mampu mereka bendung saat Formica
benar-benar pergi. Pergi dan tak akan kembali lagi. Mereka menunggu beberapa
waktu hingga akhirnya sosok menakutkan itu pergi. Mereka menggotong tubuh
Formica dengan sedih yang menggumpal-gumpal.
Aku tak menyaksikan
kejadian itu. Tapi dapat kurasakan betapa Formica berjuang untuk kami. Betapa
dia mencintai koloni ini. Formica Yessensis adalah nama yang indah. Nama yang
akhirnya kusematkan, berdampingan dengan namaku.
“Bergegaslah. Kita akan
memulai kehidupan yang baru.” Aku yakin Formica tetap ada untuk kami. Koloni
yng amat dicintainya. “Koloni ini harus tetap bertahan ratu.” Aku tak akan
pernah melupakan pesan itu.
0 komentar