Masalah itu ... Bergantung Hati
Jumat, Mei 22, 2015
Masih pagi. Riani kembali
membalik tubuhnya ke arah dinding dan menutupi wajahnya dengan selimut. Suaminya berkali-kali menegurnya karena
matahari sudah mulai merangkak naik. Dzikir
pagi dulu, Dik. Ucap suaminya itu.
Sebetulnya di balik
selimut, mata Riani tidak memejam melainkan merem melek dan bibirnya membentuk kerucut
karena sesuatu yang mendesak-desak dadanya beberapa hari terakhir. Mana peduli dia. Aku sudah pusing begini,
dia masih tenang-tenang saja. Batinnya.
“Dik?”
“Hmm ...”
“Sakit?”
“Sedikit pusing.”
Atmo yang menyibuki diri
dengan berdzikir sejak bakda shubuh beranjak keluar kamar. Lantas kembali
dengan segelas air di tangannya dan menyodorkannya pada Riani.
“Minumlah dulu ...” gelas
itu diberikannya dengan selengkung senyum tulus.
Wajah Riani terlihat kusut.
Matanya kuyu. Dadanya belum begitu lapang namun dipaksa-paksanya senyum mampir
ke bibirnya. Dan, meneguk air itu sedikit-sedikit.
“Terima kasih, Kak,”
ucapnya pelan.
“Ada apa?” tanya Atmo lagi.
Riani hanya diam. Tersenyum
kecut lalu menundukkan matanya. Ah, mata tak bisa bohong dan dia tak mau Atmo
membaca matanya.
Denyut di kepala Riani
bertambah ketika suaminya melingkarkan lengan di pinggangnya. Pelan dan halus
sekali Atmo berbisik, “tenanglah ... tenanglah .... akan ada jalan.” Ciuman
hangat mendarat di keningnya. Dan, segaris lurus matanya, titik-titik air itu
jatuh lagi.
**
Kemarin pagi.
Hape berwarna putih susu milik
Riani bergetar. Ibu. Getar itu merambat melewati tangannya, desir darahnya dan
memukimi dadanya hingga beberapa jenak. Tubuhnya melemas.
“Ri ...,”
Riani tergugu. Suaranya
terperangkap entah dimana. Beberapa hari terakhir, Ibu memang sering sekali menghubunginya.
Menanyakan hal sama, berulang-ulang. Kadang Riani berpikir untuk membiarkan
saja hape itu sampai lelah berdering, tapi tidak mungkin, itu ibunya.
“Ri ...,”
Ibu memanggilinya untuk
kedua kali. Dan barulah dia memberanikan diri bersuara.
“Iya, Bu,”
“Bagaimana? Sudah ada
keputusan? Suamimu bisa, kan?”
Kalimat tanya itu lagi.
Riani menggigit bibir. Bayangan Atmo melintas-lintas di kepalanya. Suaminya
yang bekerja, menyusun dan memfoto copy
berkas-berkas, seharian penuh. Suami yang gajinya cuma cukup untuk makan
sehari-hari.
“Eng ... belum, Bu,”
jawaban itu akhirnya meluncur dengan lemah.
“Kasih tahu suamimu,
pokoknya Ibu tidak mau tahu, kalian harus ...”
“I ... iya, Bu.” Riani
memotong cepat.
Tak seberapa lama, setelah
salam, sambungan itu terputus.
**
Mata itu memandang Riani
lekat-lekat. Tanpa suara. Meski sebetulnya, Riani sangat ingin mendengarnya
mengucapkan sesuatu. Lebih tepatnya, sebuah jalan keluar yang bisa mengangkat
beban di kepalanya. Riani mendesah dalam-dalam. Matanya tak reda membentuk
aliran sepanjang pipi.
“Bacalah ini,” Atmo
menyerahkan hape. Isinya sebuah artikel cukup panjang. Kisah hidup seorang meteri
keuangan zaman Soekarno.
Riani menghapusi air
matanya dan mulai membaca artikel itu.
Syafruddin Prawiranegara, mantan orang
kepercayaan presiden dan wakil presiden pertama RI, Soekarno-Hatta, terkenal
dengan kesederhanaan dan kebersahajaannya. Ia mengajarkan kesederhanaan itu
pada istri dan anak-anaknya.*
Sampai di situ, Riani mulai
penasaran dengan kesederhanaan yang dibicarakan itu. Diam-diam, dia menilai-nilai
dirinya. Apa hidupnya sudah dalam kesederhanaan? Mungkin iya, tapi apakah
hatinya sudah lapang? Ah, entahlah. Riani melanjutkan bacaannya.
Dan, tersentak pada
kalimat;
Lily berjualan sukun goreng untuk menghidupi
empat anaknya yang masih kecil yakni Icah, Pipi, Khalid, dan Farid. Perjuangan
hidup yang berat itu, dijalani Lily selama suaminya berada di Sumatera
menjalankan tugas negara.**
Istri
seorang menteri keuangan berjualan sukun goreng demi menghidupi anak-anaknya?
Masya Allah .... Sedang dia? Hanya tinggal di rumah dan menunggu tanggal gajian
suaminya. Riani bergeming dan pelan, rasa bersalah menyusupi hatinya.
"Ayahmu sering mengatakan kepada ibu
agar kita jangan bergantung pada orang lain, Icah. Kalau tidak penting sekali
jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berutang," kata Lily.***
Mata Riani
mulai berkaca-kaca tapi dia terus membaca artikel itu.
"Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi
dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu adalah kalau kita melakukan hal-hal
yang salah seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau
mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu,
tapi Allah tahu," kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya.****
Sekarang
Riani benar-benar kembali menangis. Tangisan yang berbeda. Dia tak bisa menahan
haru dan perasaan bersalah yang menyerbunya. Lantas tak menunggu lama, dia
langsung menghambur ke pelukan suaminya. Dan dengan hangat, Atmo menciumi
kening dan membelai rambut istrinya itu.
“Bukan aku
tak ingin pulang ke rumah, Ibu. Bukan. Aku juga sudah sangat rindu dengan
kampung. Tapi kamu tahu sendiri kan, Dik, bagaimana keadaannya sekarang, belum
memungkinkan,” Atmo tulus mengucapkan kalimat itu. Juga sebenarnya, dia merasa
salah, “maaf ... belum bisa membawamu berkunjung ke kampung.”
Riani
terisak pelan dan menggeleng.
“Aku bukan
tak ingin menanggapi kalau kamu bertanya, Dik. Aku cuma tak mau ikut kalut. Supaya
di antara kita masih ada yang bisa berpikir jernih.”
Ah, selama
ini Riani memang selalu menggerutu dalam hatinya. Ketika suaminya terdiam, dia
selalu berprasangka kalau suaminya itu tak peduli. Allahu Rabbii ... apa yang sudah kulakukan? Bersuudzhan pada suamiku
sendiri. Riani membatin sembari mengeratkan pelukannya.
“Maafkan
aku, Kak. Sungguh, maaf. Nanti kita bicara lagi pada Ibu.”
Berat tidaknya sebuah masalah, bergantung
bagaimana hatimu melapangkan. Riani memejam. Membenamkan kepalanya di dada Atmo.
***
Catatan: *,**,***,****
dikutip dari www.republika.co.id
Dari penulis.
Setiap kita tak lepas dari
masalah. Dan, Allah tidak pernah keliru memberi takaran. Tak ada yang melebihi
kapasitas hamba-Nya. Dan, Allah sudah janji dalam QS. Al-Insyirah: 5-6, Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Jadi, orang
beriman ketika ditimpa kesulitan, tak pantas berputus asa.
Sulit tidaknya sebuah
masalah, sebetulnya, bergantung bagaimana hati kita nrimo, melapangkan. Hati yang sempit yang bisanya berprasangka tak
baik dan merasa dirinya paling melas, tentu akan bilang kalau hidupnya sempit
dan bikin nyesek. Dan, akutnya, kalau tak punya lagi semangat bahkan untuk
berdiri ke kamar mandi. Hehe.
Beda dengan orang yang
memang dari awal ikhlas dan menyerahkan sepenuhnya hidupnya pada Tuhannya. Mau dicoba
dengan masalah seberat apa pun, akan tetap tegar. Khawatir atau sedih mungkin
iya. Itu kan manusiawi. Tapi, dia segera tahu cara mengatasinya.
Yang perlu kita tahu
adalah, di dunia ini bukan cuma kita yang punya masalah. Jadi tidak perlu
melas, merasa diri paling perlu dikasihani. Di luar sana, ada banyak orang yang
hidupnya jauh lebih memprihatinkan. Di jalan-jalan—di tengah malam, ada banyak
ibu-ibu dengan anaknya yang masih kecil-kecil sibuk mengaisi sampah. Banyak di
luar sana yang tak punya tempat tinggal, apalagi pakaian yang bisa
digonta-ganti.
Saya jadi teringat seorang
perempuan muda hamil duduk merokok dan tertawa-tawa di bawah patung kuda
benteng Rotterdam (Makassar), dikelilingi beberapa lelaki. Ada beberapa
bungkusan di dekatnya. Kelihatannya dia tinggal di situ. Ah, kalau direnungkan,
nikmat yang paling harus disyukuri adalah nikmat iman. Bayangkan, kalau Allah
saja tak kita kenal?
Kadang, masalah menjadi
berat karena hati kitalah yang membuatnya berat. Kita larut dalam
prasangka-prasangka yang tak seharusnya. Lapangkan hati. Ikhlaskan ...
ikhlaskan ... dan tetaplah jernih berpikir.
Oh ya, kalau sedang ada
masalah, mungkin sebaiknya kita keluar kamar, berjalan-jalan di tempat yang
kita suka, membaca hal-hal bermanfaat, menemui orang-orang yang meneduhkan,
mengunjungi jalanan dan tempat-tempat anak-anak kecil yang bekerja sebelum
usianya. Dan terpenting, merindui dan kembali pada Allah.
*Tulisan ini sebetulnya
pembelajaran untuk penulis (yang berusaha dibagi).
Selamat berakhir pekan.
2 komentar
Yayaaa,,seberat apapun masalah ketika hati ringan menerima, Inshaa Allah akan selalu aa jjalan untuk mengurainya. ^Sugestidiri yang lagi menghadapi bejibun maslah beruntun :)^... keren tulisannya
BalasHapusYup ... mesti melapangkan hati ya, Mbak.
HapusTerima kasih sudah berkunjung. :) :)