Pulang adalah Perayaan
Senin, Agustus 11, 2014
Pulang adalah perayaan
itu sendiri. Panjang jarak dan deru bus adalah undangan yang memanggil datang
sejumlah ingatan. Mengenang, ritual tak terencana yang membuat mata terpejam
entah berapa lama.
Pulang seringkali
membuat saya kehilangan kemampuan menyembunyikan sejumlah perasaan. Independent, saya mengaku-akui diri
demikian—mengingkari beberapa hal yang saya sembunyikan dan berhasil ditebak
sebagian orang; saya butuh punggung untuk menyandarkan kepala. Pulang
menjadikan saya tidak lagi serupa itu.
Rindu datang bersama
sejumlah kenangan, sepakat menghuni tape
recorder dan kaca-kaca bus. Saya membayangkan di kepulangan saya beberapa
tahun mendatang; bantal, selimut, sandaran kaki, lagu-lagu yang malam ini
seperti dipilihkan khusus untuk saya, bertambah dengan paket snack dan makan
malam serupa di pesawat-pesawat. Dan, tentunya, nominal rupiah dalam tiket
bertambah nol-nya. Kenangan … ah, saya memang punya banyak kenangan perihal
bus.
Seringkali saya
mengatakan bahwa kenangan adalah hal-hal tidak penting yang tak boleh diberi
izin pulang ke rumahnya, kepala. Ada pengingkaran dalam kalimat saya barusan.
Mengenang cuma membuat saya tidak tahu bagaimana memperlakukan hati saya yang
dulu sekarat karena memutuskan menjadi sepi.
Saya akhirnya pulang
dan bingung mesti menuliskan apa-apa saja. Saya bahagia. Tapi lebih menyukai
berada dalam bus menunggu kebahagiaan. Menunggu kebahagiaan adalah hal yang
jauh lebih membahagiakan.
Menyudahi tulisan ini,
kau tahu, adalah pengingkaran terbesar menolak hadirnya kenangan.
Makassar menuju pulang.
17 Juli 2014
0 komentar