Istiqomahlah Kita. Semoga.
Jumat, Mei 23, 2014
Di
subuh yang menua, ada kaki-kaki kecil yang ingin kita langkahkan segera. Ada
tangis yang meleleh begitu saja. Ada hati yang terperangkap sesak,
kenangan-kenangan buruk. Ada rindu yang ingin pecah berantakan.
Kepala kita barangkali terlalu sibuk memikirkan
bagaimana jadinya kita nanti. Juga, terlalu cemas dengan
kemungkinan-kemungkinan terburuk. Dan, selalu saja … dihantui
pertanyaan-pertanyaan, kapan dan darimana mestinya kita memulai?
Kita sama-sama tahu bahwa telah begitu
banyak waktu yang kita lipat dalam kekosongan. Taman-taman ilmu yang konon
menyejukkan tidak membuat kita, lebih tepatnya aku, berhenti bertanya. Kita
kadang membantah apa-apa yang mereka ucapkan. Kita tidak sepakat bahwa apa-apa
yang kita dengar tak mesti larut kita pikirkan. Kita mengakui diri sebagai
perempuan-perempuan modern yang kepalanya wajib dipenuhi soal-soal; tentang
Tuhan, kehidupan, uji, bahkan tentang diri kita sendiri.
Waktu mengantar kita pada jarak terjauh
penglihatan. Yang satu pada akhirnya berurai, berkeping dan menempuh jalan
sendiri-sendiri. Juga kita yang belum sempat bernama. Guru bahasa Indonesia
kita pernah menyebut dengan “Trio Macan”, tapi sungguh, aku tidak setuju. Kita
lebih cantik dari itu. Kita “sahabat”, istilah klasiknya begitu.
Aku ingin bercerita tentang sesuatu yang
tidak pernah kita temui di masa lalu. Ah, maksudku, bisa jadi pernah kita temui
namun hati kita tidak cukup peka untuk tahu. Kita jiwa muda, cenderung berontak
terhadap apa-apa yang sampai di telinga tapi tak sejalan dengan ingin. Selalu
ada sangakalan, “kenapa harus begitu?” “kenapa bisa begini?” “perlukah kita
menjaga jarak dan pandang? Setabu itu kah?” Seabrek pertanyaan lain tentu
mengikut di belakangnya.
Semakin ke sini semakin kita tahu bahwa kita
tidak selamanya menjadi satu. Semakin ke sini juga semakin kita mengenal
apa-apa yang sebenarnya kita cari. Orang bilang “jati diri”. Dan kau tahu,
semakin ke sini aku semakin mengenal diriku. Semakin tahu tentang sesuatu
tersembunyi yang kucari-cari.
Beberapa orang tidak menyukai
omongan-omongan yang sengaja didengarkan di kuping mereka. Dulu, kita begitu.
Sekali pun berusaha mendengar tapi tak cukup usaha untuk istiqomah. Masuk
kanan, tanpa singgah, keluar kiri.
Sesuatu berharga bisa hadir darimana
saja. Tanpa kita duga kapan waktunya. Aku menemukannya lewat ucap dan sikap. Di
sebuah malam teramat dingin di antara gunung-gunung batu. Teman-teman baru.
Keluarga baru.
Dulu kita teramat biasa dengan campur
baur. Berboncengan kesana-kemari. Tertawa keras dengan teman lelaki yang entah
berapa banyaknya. Mengucap “hai” sambil menepok bahu. Dan, semuanya kita anggap
biasa. Dalih kita, “Halah … jangan terlalu ekstrim lah, toh hati kita kan
tidak.”
Malam itu aku menjadi sangat malu karena
seorang teman lelaki (di sini kami menyebut teman lelaki dengan “ikhwah”) menegur
akhwat-akhwat yang tertidur karena lelah. Dia bilang begini, “Afwan di’ … akhwatnya jangan tidur di
situ karena jelek ki dilihat ikhwah dari sini.” Betapa mereka
menjaga hal-hal semacam itu. Dan, kita belum pernah mendengar teman-teman lelaki
kita mengucap kalimat seperti ini, bukan? Ya … anggap saja di masa-masa
itu kita sedang labil-labilnya.
Dulu kita selalu takut pada
laki-laki yang menunduk saat berpapasan.
Kita selalu mengoceh, “apa yang ada dalam kepala mereka?” Sungguh, aku malu
pernah berpikir seperti itu. Ah, sudahlah …! Semua memang butuh proses dan
yakin saja kalau Allah sedang mematangkan kita.
Istiqomah … semoga janji setelah tiga
hari di antara gunung batu itu bisa tertepati. Semoga.
Sekarang, aku yakin, kita tak bingung
lagi menjawab kapan dan darimana mestinya kita mulai? Sekarang. Detik ini juga.
Dari hal terkecil dalam diri kita.
Rinduku
untukmu, untukmu, untukmu dan untukmu biarlah pecah. Pada Ilahi … ada cinta
yang buncah.
***
1 komentar
Hehehe, sepertinya saya tahu siapa ikwah itu, bagus kak. keren!
BalasHapus