Mengalahkan Diri Sendiri
Selasa, Januari 21, 2014
Bagiku,
hal terberat adalah berperang melawan diri sendiri. Aku sepakat dengan
seseorang pada suatu hari yang basah. Dia bilang, pemenang adalah mereka yang
berhasil menang atas dirinya. Beberapa hari terakhir dan pagi ini, aku suka
bertanya, apa iya aku akan menang?
Malam-malam
yang perih beberapa bulan lalu, hingga sekarang, kerap menghuni kepalaku. Juga
malam perpisahan dengan Bapak yang
ditandai gerimis dan suara guntur yang tidak begitu keras. Mereka menjadi
semacam hantu. Atau … mimpi buruk.
Adik
terkecilku seperti baru saja menyelesaikan kalimatnya. Aku tidak tahu, kenapa
dalam bagian ini aku menjadi pengingat yang baik. Padahal, biasanya, untuk
hal-hal sepele pun aku pelupa. Seperti dimana menyimpan dompet atau cermin atau
handphone. Tanggal berapa aku harus menyelesaikan membaca buku ini—buku itu.
Hari ini ada janji dengan siapa. Mengunci pintu kamar saat pergi. Dan hal-hal
kecil lain.
“Saya
bosan begini terus. Kalau pergi, saya akan punya kehidupan baru. Rumah baru,
teman-teman baru. Saya tidak mau dipanggil “Ato” lagi. Di sana, saya akan
memperkenalkan diri dengan nama Tasyahud,” ucapnya malam itu. Lalu dengan
sedikit menahan napas dan mata berkaca-kaca, dia bicara lagi, “Tapi saya akan
merindukanmu, rumah ini, makam Etta, juga kucing-kucing,” aku tahu, saat itu,
dia sedang menahan diri untuk tidak menangis. Dia melanjutkan kalimatnya dan
aku tidak bisa menahan haru menyesaki dadaku, “Kamu bilang, kita harus berjuang.
Aku tidak sedih, kok. Jadi, kamu juga jangan sedih. Aku kan, nanti, pulang lagi
ke sini. Dan, kalau aku kembali, kamu harus siapkan hadiah untukku!”
Malam
itu, aku dan adikku yang dua lagi, hanya berdiam di kamar. Menggenggam jemari
dan menggigit bibir kuat-kuat. Kami tidak menangis. Aku hanya merasakan tubuhku
meriang.
Hal
paling kusyukuri masa-masa itu adalah, aku bisa menulis. Kupikir, curhat pada
seseorang hanya akan membuatnya bosan (walau barangkali tidak. Beberapa
sahabatku mungkin bakal setia mendengarkan). Tapi, buku-buku adalah sahabat
yang tidak perlu kau khawatirkan, bukan? Kupikir, bercerita pada Tuhan dan mereka
akan lebih menenangkan.
Mengalahkan
diri sendiri. Menjadi pemenang. Aku mulai ragu sejak malam itu. Kuliah
berantakan—meski tak ada mata kuliah yang tidak kululusi, hingga saat ini, aku belum
sarjana. Aku mulai bosan bertemu dengan wajah kampus yang itu-itu saja.
Pembimbing yang mau ini-itu, menyuruh begini-begitu. Penat, jenuh. Aku sangat
pening dan rasanya ingin meledak.
Tuhan
selalu baik dan sayang. Aku percaya itu. Wajah adikku yang lugu melintas-lintas,
juga pesan Bapak sebelum pergi—kamu anak pertama, harus jadi contoh yang baik.
Ibu? Ah, Ibu, untuknya aku bertahan. Untuknya aku kerja dan belajar siang
malam. Masalah-masalah itu mematangkanku.
Sebenarnya,
mengulas masa-masa berat itu adalah upayaku merampungkan semangat pagi ini. Mengumpulkan
amunisi untuk memasuki babak baru. Semester ini, aku kembali kuliah.
Ha
… ha … aku tidak tahu mau menulis apa lagi. Pagi tadi aku dilanda galau akut.
Ketakutan yang sangat. Masalah-masalah lalu yang belum tuntas melintas-lintas
di kepala. Tapi, kau tahu, menulis itu serupa obat. Menyembuhkan. Belum tuntas
kuceritakan penatku, aku sudah kembali bersemangat. Dan, ingin segera
menamatkan tulisan ini.
Kalau
kemarin-kemarin aku kerja dari pukul sepuluh pagi sampai larut—sekitar pukul duabelas
malam, lalu lanjut menulis dan membaca apa saja sampai subuh, aku takut, hari
ini dan seterusnya waktu tidurku cuma dua atau tiga jam. Efek semangat dan
makin banyaknya hal yang harus dikerjakan. Wkwkwk.
*Kamar yang nyaman. Pagi 22 Januari 2014.
4 komentar
suka nulis cerpen ato curcol ni mak :)
BalasHapusiya bner bgt mak.. menulis itu menyembuhkan :)
Ini curcol, Mak. Hihi. Tapi suka nulis cerpen juga. :) :)
BalasHapusTerima kasih, Mak, sudah berkunjung.
daisuki ^o^
BalasHapusApa artinya daisuki, dek? :)
BalasHapus