Calon Novelku, Barangkali.
Sabtu, Januari 25, 2014
Pertengahan tahun lalu saya pernah menulis ini dan entahlah akan melanjutkannya atau tidak. Masalah yang belum terpecahkan dalam diri saya adalah selalu tergoda dan tak mampu bertahan dengan ide baru. Hehe. Tulisan ini masih kacau balau bukan? :) :)
___________________________________________________________________________
Danau di sekitaran kampus itu berkilat-kilat jingga tertimpa cahaya matahari sore. Pohon mangga yang berderet di sekelilingnya disinggahi beberapa mahasiswa untuk melepas penat atau sekadar cuci mata.
Leavi
masih tertegun, rasa kagetnya belum sempurna hilang. Walau sebenarnya dia sudah
mengantisipasi semua hal yang akan terjadi. Termasuk ini. Mendengar ocehan
panjang sahabatnya yang perfeksionis. Tapi dia tidak pernah menyangka, si Reta,
sahabatnya yang patut dapat award sebagai simbol perempuan anggun serba ribet
itu, bakal mencak-mencak dan membawa-bawa pembicaraan ke arah harkat dan
martabat perempuan.
“Aduh
… Leavi, sini, lihat aku!” Reta memutar badan Leavi hingga tepat berada di
depan wajahnya. “Dengarkan baik-baik. Sebagai seorang perempuan, harusnya kita
… kau … bisa menjaga harga diri.”
Leavi
melotot dan menghela napas panjang, lalu membalik kembali tubuhnya ke arah danau.
Tangan kanannya digerakkan ke samping, seperti mengusir angin.
“Kau
terlalu berlebihan, Ta,” ucap Leavi santai. Dia menyandarkan punggungnya ke
batang pohon Mangga yang menua sambil mengamati gelang rumput di tangannya.
Memperbaiki bentuknya yang sedikit berantakan.
Reta
menggeleng kesal. Selalu begitu. Aneh dan keras kepala. Walau mulutnya bicara
sampai berbusa, semuanya sia-sia. Leavi tidak akan mendengarkan omongannya,
apalagi mengikutinya. Tapi, ya Tuhan, apa kata orang kalau sampai hal itu
terjadi? Reta berpikir lagi. Kembali mengatur kata-kata untuk segera
dimuntahkan.
“Leavi,
perempuan itu harusnya menunggu saja. Membaikkan diri dan menabung cintanya.
Mmm …,” Reta memilih-milih kalimat yang tepat, “dan menjaga derajatnya.”
Leavi
melengos. Sedikit jengkel karena pembicaraan harga diri dan derajat yang tak
selesai-selesai. Yang menurutnya, terlalu berlebihan. Tapi dia diam dan memilih
tak ambil pusing dengan ucapan Reta. Kapan
sih nih orang bisa santai, sedikit saja? Cepat tua baru rasa. Batinnya. Dia terkekeh sendiri.
“Kau
kenapa cengengesan? Ada yang lucu?” Reta bertanya, merasa janggal dengan respon
Leavi. Dia lantas memperbaiki posisi duduknya.
Leavi
tidak menjawab, malah meneruskan aksi tawanya. Dalam kepalanya bermunculan
wajah Reta di edisi berpuluh tahun mendatang. Reta yang tidak cantik lagi,
keriput sana-sini dan kehilangan deretan rapi giginya. Juga mata berkantungnya yang makin bergelambir
seperti digigit lebah. Dan yang membuatnya makin tertawa, dari dalam kepala
Reta dia melihat ratusan kata keluar berserakan. Seperti terjemahan bibirnya
yang tidak lelah-lelahnya bicara.
Reta
salah tingkah dan segera mengambil cermin dari dalam tasnya. Memeriksa tiap
lekuk wajahnya, kalau-kalau saja rambutnya berantakan atau bedaknya tidak rata.
Kemejanya juga tak luput dari perhatian. Dan, semuanya terpastikan dalam
keadaan baik. “Tidak ada yang salah,” gumamnya. Matanya menatap Leavi, meminta
penjelasan.
Leavi
menyudahi tawanya. “Kau lucu.”
Reta
mengernyit, matanya membulat tidak mengerti.
“Aku
membayangkan bagaimana jadinya kalau kau tua nanti. Kau pasti berhasil
memenangkan kontes nenek cerewet,” Leavi terkekeh lagi, sementara Reta
memonyongkan bibirnya. Kesal. Matanya menatap lurus ke arah danau. Otaknya
berputar, berpikir keras.
Angin
bertiup pelan. Jumlah mahasiswa di sekitar danau itu makin bertambah. Ada yang sengaja
datang untuk lari sore. Ada yang duduk melingkar, membicarakan perihal
organisasi mereka. Ada yang mengambil gambar, atau sama dengan Leavi dan Reta—hanya
duduk santai menikmati udara tepi danau.
Tapi
dari semua orang itu, tak ada yang seaneh Leavi. Begitu pikir Reta. Cewek yang tidak
pantas disebut cewek. Celana jeans kusam, baju kedodoran, rambut diikat
seadanya, dan ya ampun, di tangannya, bukan gelang perak atau jam tangan melingkar
di sana, tapi rumput yang dililit sedemikian rupa. Menakjubkan dan primitif.
Leavi
menjatuhkan tubuhnya di sebelah Reta. Ikut duduk menikmati danau yang serupa
cermin besar itu. Rumput-rumput di sekitarnya bergoyang tertiup angin. Dia
mendesah pelan.
“Leavi,
ini untuk kebaikanmu. Percaya deh,” Reta melembutkan suaranya. Kembali bicara
dengan tatapan lurus ke danau. “Ya … ya, aku tahu kau suka sesuatu yang
menantang dan aneh, tapi tolonglah … jangan dalam hal ini.”
Leavi
terkikik. Dia menertawai dua hal; Reta yang sebenarnya juga aneh dengan pikiran
berlebihannya, dan dirinya, yang entah darimana mendapat ide gila itu. Ah, tapi
itu wajar. Sangat wajar. Pikirnya lagi, membela diri. Dia meluruskan punggung
dan mengatur intonasi suaranya, “Sebenarnya tidak seburuk itu, Ta. Jangan …,”
“Vi,
kau tahu? Seumur-umur aku paling anti sama cewek yang mengejar-ngejar cowok. Dimana
harga dirinya? Seperti tidak laku saja. Terus sekarang? Kau …?” Reta memotong
kalimat Leavi, menghela napas. “Kau yang sahabatku bisa-bisanya mau melakukan
itu. Harkat dan martabat perempuan bisa anjlok, Leavi ….”
“Anjlok?
Memangnya sembako?” Leavi memicingkan mata dan tersenyum lebar. Lalu kembali
bersuara datar, “lagipula, siapa juga yang mengejar-ngejar? Jalan saja capek,
apalagi mengejar.”
Leavi
terkikik-kikik penuh kemenangan. Dia tahu telah berhasil membuat sahabatnya
gigit jari. Putus asa menasehatinya.
Wajah
Reta makin terlipat. Dia menghela napas dan mengembuskannya dengan keras
melalui mulut. Dia sangat kesal pada Leavi karena sama sekali tidak memedulikan
perkataannya. Kalimat yang dia rangkai susah payah hanya menyerbuk di udara.
Kosong.
Menyadari
perubahan air muka itu, Leavi segera mengatupkan mulutnya. Mendeham pelan.
“Reta … kau pernah tidak jatuh cinta?” tanyanya kemudian.
Reta
menoleh heran. Merasa kaget dengan pertanyaan barusan. “A-aku?” jawabnya gugup.
Tangan kanannya diletakkan di depan dada, memperlihatkan buku-buku jarinya yang
jernih. “Aku pernah jatuh cinta. Tapi
tidak akan pernah mengejar-ngejar cowok. Dan …”
“Dan
kau memendamnya sendiri. Cowok itu juga diam. Akhirnya, kau tak pernah tahu
bagaimana perasaannya. Reta … Reta ….” Leavi tertawa kecil. Menggelengkan
kepalanya perlahan. “Ah, ya, apa yang kau rasakan saat itu?”
Wajah
Reta memerah. Dia makin gugup dan tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.
“Hmm
… begini, sederhananya, cinta adalah sesuatu yang sangat berharga untuk
dilewatkan. Sesuatu yang tidak cukup didoakan, tapi juga harus diusahakan,” Leavi
tersenyum-senyum sendiri mendengar kalimatnya barusan. Kalimat yang dia baca
dari catatan facebook seorang
penulis. *
Reta
mengalihkan pandangan ke sebelah kanan. Sepasang mahasiswa—yang mungkin
kekasih—sedang bercengkrama di bawah pohon Mangga. Dia menoleh lagi dan
memusatkan perhatiannya pada seorang cowok bertubuh jangkung yang sibuk
mengambil gambar seekor burung di atas danau. Tapi sebenarnya pikirannya tidak
di sana. Pikirannya sedang berkeliaran dan berusaha keras mencari kalimat
pembelaan yang tak kunjung ketemu.
Dengan
berkacak pinggang dan tersenyum lebar, Leavi bicara lagi, memuntahkan teori
dalam kepalanya, “Reta yang cantik, anggun dan baik hati, aku pikir setiap
orang punya hak mengungkapkan perasaannya. Termasuk aku.”
“Tapi
harusnya …”
“Kau
tahu, kan, siapa cowok yang kusuka itu? Aku bahkan tidak yakin kalau dia masih
mengingatku. Jadi harus aku yang bertindak. Hahaha … tapi sudahlah, sepertinya
kau benar, aku akan malu. Dia tidak akan menerimaku.”
Reta
memandang sahabatnya itu. Ada sesal mengendap-endap dalam hatinya. Ah, apa yang aku lakukan? Bukannya
menyemangati, aku malah merebut kebahagiaan kecil Leavi. Batinnya.
“Hei
… kenapa melamun? Ayo pulang! Sudah sore.” Leavi menarik lengan Reta. “Tidak
perlu menyesal,” dia menyapukan tangannya di wajah sahabatnya itu, “kau pikir
aku akan berhenti dan putus asa? Oh no,
itu bukan Leavi. Kita lihat saja besok apa yang terjadi.”
Mereka lantas tertawa. Menyusuri jalan
setapak yang kiri kanannya dipenuhi deretan pohon Mangga.
***
2 komentar
Keren kak... Kusuka tulisan2 ta... semangat.....
BalasHapuskak, bisa berteman kan ?
Terima kasih sudah berkunjung.
BalasHapusTentu saja bisa. Salam kenal. ^^