RINDU (KeKeR FAJAR, 20 Juli 2013), oleh: Dikpa Sativa
Sabtu, Juli 20, 2013
Kau tahu apa arti rindu? Bagiku, rindu serupa kumpulan bintang di alam semesta yang takkan pernah mampu kau hitung.
Awan gelap dan titik-titik air dari langit selalu saja punya cara untuk menyeretku menuju pusaran namamu. Rindu. Di balik jendela kaca yang berembun, aku memejamkan mata. Mengingat tiap garis di wajahmu, senyummu, bening matamu, juga luka hidup yang kerap kau ceritakan padaku. Rindu… namamu tak pernah absen dari barisan hal-hal penting dalam kepalaku.
Rindu … ramadhan telah meninggalkan hari kelima. Kau tahu, ramadhan kali ini terasa sangat aneh tanpamu. Tapi, aku selalu bersyukur karena masih dipertemukan dengan bulan segala kebaikan ini. Aku masih menyimpan rapat pesanmu tempo hari. Jagalah pendar cahaya surga yang dikaruniakan Allah di balik mata dan dadamu. Kita selalu punya cara untuk menjadi lebih baik! Ya. Dan ramadhan selalu menjadi momen tepat untuk mewujudkannya.
Aku menghela napas perlahan. Kurasakan mataku menghangat, menahan tangis. Kau ada di sana. Di dalam mataku yang basah. Dalam hatiku yang lelah menahan rasa serupa namamu. Rindu.
“Ternyata … kehilangan selalu menyakitkan. Selalu menyisakan perih yang mengentak-entak. Kau tahu itu?” suaramu memelan. Matamu menghunjam ke dalam mataku.
Pertanyaan itu kau lontarkan setahun lalu di sela-sela tangismu. Kulihat tubuhmu makin kurus, layu. Mata beningmu penuh kesedihan. Aku hanya bisa menggeleng, menggenggam jemarimu, lantas mengucap kalimat yang pernah kau katakan padaku.
“Kau lihat ini?” aku menunjuk jam tangan yang kukenakan, “jarum jam ini terus berputar. Waktu tak pernah berhenti di satu tempat. Dia akan mengobati perihmu. Percayalah!”
Kau memaksa bibirmu tersenyum.
“Makin pintar saja kau, Wan!” katamu lagi. Aku membiarkan tanganmu mengacak-acak rambutku. Titik air mata yang mengaliri pipi mulusmu mulai mengering.
“Aku akan selalu menjadi laki-laki pintar jika di dekatmu, karena…” aku terdiam sebentar, mengembangkan senyum, “bukankah kau telah menularkan itu padaku? Kau selalu mengatakan ‘jangan sia-siakan apa yang diberikan Allah padamu. Syukurilah.’ lalu dengan mata membulat kau akan bertanya lagi, ‘kau tahu bagaimana cara mensyukurinya? Teruslah belajar, Wan. Kembangkan potensimu.’ Kau benar-benar mirip nenekku.”
Kau mencubit lenganku pelan. Kembali tersenyum, memamerkan deretan gigimu yang rapi.
Rindu … aku masih ingat dengan jelas, di atas pusara ibumu yang masih basah, kau menumpahkan seluruh air matamu. Memanjatkan beribu doa untuk beliau, juga untuk dirimu yang kau rasakan makin rapuh.
Maafkan aku, Rindu. Ketika itu aku tak bisa berbuat banyak untukmu. Sama seperti sekarang, aku hanya bisa mengenangmu dari balik jendela kacaku, saat larik hujan turun menderas. Ah… Rindu, kau membuatku mencintai ricik.
Satu tahun lalu, tepat saat shalat tarawih pertama akan didirikan, kau meneleponku dengan napas terengah-engah, mengabarkan kondisi ibumu yang memburuk. Aku bergegas, menyusulmu di rumah sakit. Rindu, saat itu wajahmu benar-benar sembab. Tapi aku bisa merasakan, di balik tangismu, ada kekuatan hebat kau simpan.
Kau anak tunggal dari orang tuamu. Bapakmu meninggal lima bulan sebelumnya. Kecelakaan. Dan, kepergian itu mengajarkanmu dewasa. Setelahnya, ibumu pun jatuh sakit. Ah … luka cinta semacam perpisahan adalah penyakit terganas. Ibumu mengidapnya. Tubuhnya makin kurus, dan mungkin, hatinya sesak dipenuhi racun rindu.
Malam itu adalah malam paling berat dan panjang untukmu. Sebatang kara, tanpa bapak, ibu, juga saudara. Aku tak henti-hentinya mendekap pundakmu. Tak bosan membisikkan kalimat-kalimat penyemangat. Hidup akan terus berlanjut, Rindu. Kau adalah perempuan kuat yang akan memenangkan skenario Tuhan.
Kau perempuan terkuat, sekaligus terjahat yang pernah kukenal. Satu tahun berlalu sejak kepergian ibumu, kau kembali mengisi catatan dukaku. Kenapa secepat itu, Rindu? Kenapa kau tak mau menunggu barang sebentar saja? Kenapa senyummu kau tarik lagi dan menggantinya dengan air mataku? Kenapa… kenapa?
“Karena Tuhan menulis skenario-Nya seperti itu. Bersabarlah! Bukankah hidup akan terus berlanjut?” ucapmu lemah di atas ranjang rumah sakit berseprai putih. Kau sempat tersadar beberapa menit untuk menyampaikan pesan itu.
Aku tak henti-hentinya menelungkupkan wajah di atas bantal di sampingmu. Menyembunyikan duka dan air mata. Menyimpan sesak yang memenuhi dadaku. Suara adzan dari masjid-masjid di sekitar rumah sakit terdengar sangat menyayat.
Enam hari lalu, aku mengembangkan senyum terlebarku. Untuk dua hal; ramadhan, bulan penuh berkah dan ampunan yang masih sempat kurasa, dan untukmu, untuk pernikahan kita selepas lebaran nanti. Tapi semuanya berantakan. Mimpi-mimpi itu pecah dan berhamburan seiring kondisimu yang memburuk.
Sehari sebelum ramadhan, kakimu terpeleset dan kepalamu terbentur di kamar mandi. Seperti kata dokter, lukamu tidak berat dan akan segera sembuh. Namun… selalu ada cara untuk menitip duka. Asmamu kambuh. Kau mengerang, menangis pelan dan menghela napas panjang, berusaha memasukkan udara ke dalam paru-parumu. Dadamu kembang kempis, udara yang keluar satu-satu dari mulutmu menghasilkan bunyi yang menyedihkan.
Tak ada yang bisa kulakukan untuk menolongmu. Aku hanya menggenggam jemarimu kuat-kuat, merapalkan doa sebanyak mungkin untukmu. Bertahanlah Rindu … bertahanlah. Ada aku yang selalu menunggumu. Bertahanlah untukku. Kumohon …! Kalimat itu terus kubisikkan di telingamu. Apa kau masih mengingatnya?
Rindu … kenapa kau begitu tega padaku? Tepat satu ramadhan, kau tak lagi mengerang, tak lagi menangis. Kau mengembuskan napas terakhirmu. Membuatku meluruhkan seluruh air mataku.
Kehilangan memang selalu menyakitkan. Kau benar. Kini aku bisa merasakan betapa berat kehilangan yang kau tanggung dalam hidupmu. Kehilangan dua orang yang sangat berarti. Bapak dan Ibumu.
Aku beranjak meninggalkan jendela kaca. Adzan maghrib yang menandakan waktu berbuka puasa telah tiba, terdengar sayup dari kejauhan. Aku menuju meja makan. Selintas kulihat dirimu mempersiapkan makanan untukku. Kau tahu, Rindu? Ada rindu serupa kumpulan bintang di alam semesta dalam dadaku. Kau takkan pernah mampu menghitungnya.
Aku mengucap doa-doa yang sama seperti kemarin. Doa untuk ibu bapakku, ibu bapakmu, dan untukmu. Semoga Allah menempatkan kalian di surga. Amin….
***
Awan gelap dan titik-titik air dari langit selalu saja punya cara untuk menyeretku menuju pusaran namamu. Rindu. Di balik jendela kaca yang berembun, aku memejamkan mata. Mengingat tiap garis di wajahmu, senyummu, bening matamu, juga luka hidup yang kerap kau ceritakan padaku. Rindu… namamu tak pernah absen dari barisan hal-hal penting dalam kepalaku.
Rindu … ramadhan telah meninggalkan hari kelima. Kau tahu, ramadhan kali ini terasa sangat aneh tanpamu. Tapi, aku selalu bersyukur karena masih dipertemukan dengan bulan segala kebaikan ini. Aku masih menyimpan rapat pesanmu tempo hari. Jagalah pendar cahaya surga yang dikaruniakan Allah di balik mata dan dadamu. Kita selalu punya cara untuk menjadi lebih baik! Ya. Dan ramadhan selalu menjadi momen tepat untuk mewujudkannya.
Aku menghela napas perlahan. Kurasakan mataku menghangat, menahan tangis. Kau ada di sana. Di dalam mataku yang basah. Dalam hatiku yang lelah menahan rasa serupa namamu. Rindu.
“Ternyata … kehilangan selalu menyakitkan. Selalu menyisakan perih yang mengentak-entak. Kau tahu itu?” suaramu memelan. Matamu menghunjam ke dalam mataku.
Pertanyaan itu kau lontarkan setahun lalu di sela-sela tangismu. Kulihat tubuhmu makin kurus, layu. Mata beningmu penuh kesedihan. Aku hanya bisa menggeleng, menggenggam jemarimu, lantas mengucap kalimat yang pernah kau katakan padaku.
“Kau lihat ini?” aku menunjuk jam tangan yang kukenakan, “jarum jam ini terus berputar. Waktu tak pernah berhenti di satu tempat. Dia akan mengobati perihmu. Percayalah!”
Kau memaksa bibirmu tersenyum.
“Makin pintar saja kau, Wan!” katamu lagi. Aku membiarkan tanganmu mengacak-acak rambutku. Titik air mata yang mengaliri pipi mulusmu mulai mengering.
“Aku akan selalu menjadi laki-laki pintar jika di dekatmu, karena…” aku terdiam sebentar, mengembangkan senyum, “bukankah kau telah menularkan itu padaku? Kau selalu mengatakan ‘jangan sia-siakan apa yang diberikan Allah padamu. Syukurilah.’ lalu dengan mata membulat kau akan bertanya lagi, ‘kau tahu bagaimana cara mensyukurinya? Teruslah belajar, Wan. Kembangkan potensimu.’ Kau benar-benar mirip nenekku.”
Kau mencubit lenganku pelan. Kembali tersenyum, memamerkan deretan gigimu yang rapi.
Rindu … aku masih ingat dengan jelas, di atas pusara ibumu yang masih basah, kau menumpahkan seluruh air matamu. Memanjatkan beribu doa untuk beliau, juga untuk dirimu yang kau rasakan makin rapuh.
Maafkan aku, Rindu. Ketika itu aku tak bisa berbuat banyak untukmu. Sama seperti sekarang, aku hanya bisa mengenangmu dari balik jendela kacaku, saat larik hujan turun menderas. Ah… Rindu, kau membuatku mencintai ricik.
Satu tahun lalu, tepat saat shalat tarawih pertama akan didirikan, kau meneleponku dengan napas terengah-engah, mengabarkan kondisi ibumu yang memburuk. Aku bergegas, menyusulmu di rumah sakit. Rindu, saat itu wajahmu benar-benar sembab. Tapi aku bisa merasakan, di balik tangismu, ada kekuatan hebat kau simpan.
Kau anak tunggal dari orang tuamu. Bapakmu meninggal lima bulan sebelumnya. Kecelakaan. Dan, kepergian itu mengajarkanmu dewasa. Setelahnya, ibumu pun jatuh sakit. Ah … luka cinta semacam perpisahan adalah penyakit terganas. Ibumu mengidapnya. Tubuhnya makin kurus, dan mungkin, hatinya sesak dipenuhi racun rindu.
Malam itu adalah malam paling berat dan panjang untukmu. Sebatang kara, tanpa bapak, ibu, juga saudara. Aku tak henti-hentinya mendekap pundakmu. Tak bosan membisikkan kalimat-kalimat penyemangat. Hidup akan terus berlanjut, Rindu. Kau adalah perempuan kuat yang akan memenangkan skenario Tuhan.
Kau perempuan terkuat, sekaligus terjahat yang pernah kukenal. Satu tahun berlalu sejak kepergian ibumu, kau kembali mengisi catatan dukaku. Kenapa secepat itu, Rindu? Kenapa kau tak mau menunggu barang sebentar saja? Kenapa senyummu kau tarik lagi dan menggantinya dengan air mataku? Kenapa… kenapa?
“Karena Tuhan menulis skenario-Nya seperti itu. Bersabarlah! Bukankah hidup akan terus berlanjut?” ucapmu lemah di atas ranjang rumah sakit berseprai putih. Kau sempat tersadar beberapa menit untuk menyampaikan pesan itu.
Aku tak henti-hentinya menelungkupkan wajah di atas bantal di sampingmu. Menyembunyikan duka dan air mata. Menyimpan sesak yang memenuhi dadaku. Suara adzan dari masjid-masjid di sekitar rumah sakit terdengar sangat menyayat.
Enam hari lalu, aku mengembangkan senyum terlebarku. Untuk dua hal; ramadhan, bulan penuh berkah dan ampunan yang masih sempat kurasa, dan untukmu, untuk pernikahan kita selepas lebaran nanti. Tapi semuanya berantakan. Mimpi-mimpi itu pecah dan berhamburan seiring kondisimu yang memburuk.
Sehari sebelum ramadhan, kakimu terpeleset dan kepalamu terbentur di kamar mandi. Seperti kata dokter, lukamu tidak berat dan akan segera sembuh. Namun… selalu ada cara untuk menitip duka. Asmamu kambuh. Kau mengerang, menangis pelan dan menghela napas panjang, berusaha memasukkan udara ke dalam paru-parumu. Dadamu kembang kempis, udara yang keluar satu-satu dari mulutmu menghasilkan bunyi yang menyedihkan.
Tak ada yang bisa kulakukan untuk menolongmu. Aku hanya menggenggam jemarimu kuat-kuat, merapalkan doa sebanyak mungkin untukmu. Bertahanlah Rindu … bertahanlah. Ada aku yang selalu menunggumu. Bertahanlah untukku. Kumohon …! Kalimat itu terus kubisikkan di telingamu. Apa kau masih mengingatnya?
Rindu … kenapa kau begitu tega padaku? Tepat satu ramadhan, kau tak lagi mengerang, tak lagi menangis. Kau mengembuskan napas terakhirmu. Membuatku meluruhkan seluruh air mataku.
Kehilangan memang selalu menyakitkan. Kau benar. Kini aku bisa merasakan betapa berat kehilangan yang kau tanggung dalam hidupmu. Kehilangan dua orang yang sangat berarti. Bapak dan Ibumu.
Aku beranjak meninggalkan jendela kaca. Adzan maghrib yang menandakan waktu berbuka puasa telah tiba, terdengar sayup dari kejauhan. Aku menuju meja makan. Selintas kulihat dirimu mempersiapkan makanan untukku. Kau tahu, Rindu? Ada rindu serupa kumpulan bintang di alam semesta dalam dadaku. Kau takkan pernah mampu menghitungnya.
Aku mengucap doa-doa yang sama seperti kemarin. Doa untuk ibu bapakku, ibu bapakmu, dan untukmu. Semoga Allah menempatkan kalian di surga. Amin….
***
2 komentar
Keeeereeeenn....
BalasHapusTerima kasih. ^^ Salam kenal. :)
BalasHapus