Sebuah Kebingungan

Senin, Juni 03, 2013



Aku tidak tahu harus menulis apa. Ini adalah tulisan kesekian setelah aku menekan tombol “delete” berkali-kali.

Sudah dua hari aku hanya tiduran di atas kasur. Malas? Bisa jadi seperti itu. Bisa jadi aku memang terlalu membesar-besarkan apa yang kurasakan. Bisa jadi aku memang terlalu lemah dan cengeng. Aku hanya demam dan sedikit sakit kepala. Aku tidak bohong. Hanya demam, hanya sakit kepala, ya, hanya itu. Sepele bukan?

Harusnya saat ini aku berada dalam antrian menunggu dosen yang sangat penting itu. Setiap kali mengingat wajahnya, tiba-tiba ada desiran di dadaku, semacam perasaan takut dan cemas. Wajah dengan garis tegas dan keras itu benar-benar menjadi teramat penting dalam hidupku beberapa waktu ke depan. Ah… andai saja aku bisa bersahabat atau layaknya bapak dan anak dengannya—seperti aku dan seorang dosen yang kukenal beberapa waktu lalu. Aih... sepertinya itu akan sulit. Kami berbeda.

Hal yang kusesali adalah pikiran-pikiran aneh dan kejenuhan yang terus tumbuh dalam kepalaku. Sepertinya sekarang ini telah menghuni hampir delapan puluh persen tempat di sana. Jika aku bisa dengan mudahnya memberikan semangat pada orang-orang di sekitarku, lantas mengapa tidak pada diriku sendiri. Aku selalu mengutuk hal ini. Aku merasakan kesendirian yang sangat. Sepi. Sunyi.


Dua hari, aku tidak beranjak ke mana-mana. Hanya mengurung diri dalam sebuah kamar kos yang mulai mengelupas catnya. Membuat banyak tulisan tak bertema dan menghabiskan beberapa buku. Apa yang terjadi denganku? Entahlah. Aku terus membujuk diriku agar bertahan. Berkali-kali. Bukankah sedikit lagi? Tapi… hal terberat adalah bertahan untuk sesuatu yang tak kau cintai.

Tiga tahun  lebih aku menjalaninya dengan hati yang kupaksakan senang. Dan, aku menjadi menikmatinya. Sebentar lagi, tapi mengapa perasaan itu malah berubah 180o? semangat tiba-tiba menguap dan bosan benar-benar menjadi hebat. Mengapa aku serupa orang kalah? Mengapa aku…? Ah… sudahlah! Ini memang sangat bodoh.

Jika ada yang melihatku, tak ada lain, kecuali rentetan kalimat menyalahkan. Aku tidak protes. Karena aku juga melakukan itu. Tapi adakah yang memahami perasaanku? Tidak… tidak… aku tidak meminta untuk dipahami. Aku juga tidak akan bercerita. Kadang, bercerita dan mengeluh sulit dibedakan. Dan, lebih sulit lagi menemukan orang yang benar-benar tulus dan tidak bosan mendengar keluhan itu.

Ah… betapa lucunya aku ini, kalimat di atas harusnya tidak kutuliskan. Karena… aku tidak akan mengeluh. Lagipula apa yang harus kukeluhkan? Masalah? Ah… aku hanya punya perasaan yang mengkhawatirkan saat ini. Semangat yang menguap dan perasaan cengeng. Bukan masalah. Hanya sebuah kebodohan.


Aku seperti hidup tanpa semangat dan mimpi. Bahkan, kadang, aku tidak mengenal diriku lagi. Sungguh mengerikan.

Wooiii… kau jangan percaya dengan semua bualanku. Omong kosong. Hanya sebuah  kebohongan. Permainan bahasa. Mana mungkin aku tidak punya mimpi. Mana mungkin aku tidak semangat dan mengenali diriku. Akulah orang yang paling tahu apa yang harus kulakukan. Akulah orang paling bersemangat itu. Lihat… di dinding kamarku saja, ada begitu banyak mimpi dan rencana. Aku punya orang tua, banyak sahabat dan orang-orang dekat lain sebagai motivasi. Aku punya semuanya. Aku berbakat. Tak ada yang perlu dicemaskan.

Pada akhirnya aku memejamkan mata dan berbicara pada diriku sendiri, “Jangan takut… Jangan sedih… Jangan mengeluh! Karena orang beriman tak pantas untuk itu.”

Tak ada yang benar. Tak ada yang bohong. Semua imbang.


Makassar, 04 Juni 2013

You Might Also Like

0 komentar

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger