Hujan Sore Itu… Oleh: Dikpa Sativa
Minggu, Juni 30, 2013
Setelah lima tahun, akhirnya Mayang
mengalah. Dia rindu Ibu, Ayah, Adam, semua keluarga, juga rumahnya. Dua hari dia
berkutat dengan perasaan yang macam-macam. Malu bercampur rindu, takut, ah… dia
tak dapat menjelaskan. Dua hari dia memuntahkan semua kenangan itu, berpikir
ulang, hingga akhirnya memutuskan menghubungi Adam. Dia akan pulang dan Adam
harus menjemputnya di bandara.
Bandara Sultan Hasanuddin. Hujan turun
dengan derasnya. Awan-awan kelabu menutup senja. Dinding-dinding kaca di sebuah
rumah makan di ujung jalan Pettarani , mengembun. Di sana, di balik kaca itu,
dua orang saling bercakap dan melepas rindu. Lima tahun lebih mereka tak pernah
bertemu. Jeda yang panjang dan berat.
Tak banyak yang berubah. Batin Mayang
sembari menyeruput secangkir kopi hangat di tangannya. Sesekali ditatapnya
Adam. Meski sudah menikah, sepupunya itu masih saja terlihat acak-acakan dan
kocak. Kaos oblong, celana jeans, sepatu kets dan rambut yang tidak terlalu
rapi. Hanya saja, wajah Adam kini lebih jelas mengguratkan garis kedewasaan.
“Kenapa harus singgah di sini? Padahal
aku sudah menyiapkan sambutan paling meriah untuk nona cantik!” Adam mulai
menggoda.
Mayang hanya menarik napas pelan.
Bayangan lima tahun lalu berkelebatan dalam kepalanya. Gerimis. Lari dalam
pekat. Kursi pelaminan. Ibu. Aaahh… dia merasakan sesak di dadanya. Hingga
detik ini, ada perasaan yang sulit ia jelaskan, bahkan pada dirinya sendiri.
“Aku tahu, kau pasti ingin berdua dulu denganku.
Iya, kan? Ingin melepas rindu pada pangeran tampan ini,” Adam berseloroh lagi.
Mayang tertawa, “kau tidak berubah,
Adam.”
Adam hanya nyengir, lalu mengambil
secangkir kopi miliknya yang mulai dingin. Mengaduknya lalu menyeruputnya
perlahan. Kejadian lima tahun lalu juga melintas-lintas dalam kepalanya.
Mayang membuang pandangannya ke luar.
Jalanan basah dan macet.
“Aku belum siap pulang ke rumah, Dam.
Aku takut,” ucap Mayang pelan.
“Kalau belum siap, kembali saja ke
Jakarta. Sepertinya masih ada jadwal penerbangan nanti malam. Atau mau kuantar
pakai sapu terbang?” Adam memasang muka jenakanya.
“Aku serius, Dam.” Mayang menarik napas,
“aku takut orang rumah masih marah padaku. Aku sudah membuat mereka malu.”
Adam menatap mata Mayang. Berusaha
meyakinkannya, “kau tahu, Ibumu sangat menunggu kedatanganmu. Dia sangat
menyesal atas kejadian lima tahun lalu. Sekarang, harapannya cuma satu, anak
perempuannya kembali.”
Mayang menunduk, menyeka matanya yang
mulai berair. Kejadian itu terulang lagi dalam benaknya.
**
Malam lima tahun lalu, saat gerimis
jatuh satu-satu, Mayang tak berhenti menangis dalam pelukan sepupunya, Adam.
Pernikahan itu sebentar lagi. Pelaminan telah dihias sedemikian rupa, makanan
beraneka macam mulai disiapkan, tapi tidak dengan hatinya. Dia tidak bisa
menerima semuanya. Dia mencintai laki-laki lain.
Malam itu, saat orang-orang sibuk dengan
tawa, Adam membantu Mayang pergi dari rumah. Meninggalkan pernikahan yang
tinggal menghitung jam. Air mata itu, Adam tak mampu melihatnya lama-lama. Ia
ingin sepupunya bahagia. Itu saja. Dia tak mau perjodohan merenggut kebahagiaan
sepupu sekaligus saudara satu-satunya.
Dari kecil Mayang dan Adam hidup dan
dibesarkan bersama, dalam satu rumah. Bapak Adam adalah saudara kandung Ibu
Mayang. Adam tak memiliki adik atau kakak, begitu pun Mayang. Mereka anak
tunggal, kebanggaan keluarga besar.
**
Pagi itu harusnya ada pernikahan kembar.
Pernikahan Adam dan Mayang dengan pasangan pilihan keluarga besar mereka.
Perjodohan paksa. Setidaknya itu yang dirasakan Mayang. Dia tak punya alasan
untuk menolak tapi juga tak punya alasan untuk membuat dirinya mampu bertahan
dan mencintai laki-laki pilihan keluarganya. Ibunya terlalu keras, dan dia tak
sanggup melawannya. Namun tadi malam, saat pernikahan tinggal menghitung jam, dia
berubah pikiran dan memutuskan hal terbesar dalam hidupnya. Dengan bantuan
Adam, dia pergi meninggalkan Makassar, meninggalkan pernikahan itu.
Hujan tak kunjung reda hingga tamu-tamu
berdatangan. Ibu Mayang yang telah sadar bahwa anaknya pergi, berkali-kali tidak
sadarkan diri. Suasana kacau dengan rasa malu, marah dan sedih yang bercampur
di hati keluarga Mayang.
Adam yang telah menyusun rencana untuk
menyusul Mayang, hari itu, memilih hal lain. Melangsungkan pernikahan. Dia tak
sanggup membayangkan, mau ditaruh di mana muka keluarga, jika hari itu dia juga
menolak dan melarikan diri. Lagipula, cintanya pada perempuan yang selalu ada
dalam pikirannya, bertepuk sebelah tangan. Mungkin dengan menikahi Atfa, dia
akan bahagia, atau setidaknya, dia telah membahagiakan keluarganya.
**
Hening menyekap Adam dan Mayang cukup
lama. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing hingga akhirnya seorang pelayan
datang mengagetkan.
“Dua cangkir kopi hangat, Mas!” pinta
Adam ramah. Cangkir kopi kedua.
Mayang merapatkan jaketnya. Dingin
terlalu menusuk sore itu.
“Tapi kau keterlaluan, May! Kau bahkan
tidak memberitahuku siapa laki-laki itu. Atau sekadar mengirim kabar. Sekarang,
nona kecil sudah hebat rupanya!” Adam sedikit sebal pada sepupunya yang lima
tahun lebih seperti melupakannya.
“Laki-laki itu? ha… ha,” Mayang
tersenyum kecut. Pandangannya masih ke luar jalan.
“Ya, laki-laki itu, kekasihmu. Sudah
punya anak berapa kalian? Tega benar, kalian bahkan tak mengirim undangan ke
rumah!”
“Aku tak bersama laki-laki itu. Dia
menikah dengan orang lain,” ucap Mayang pelan.
“Jadi…?” Adam terperanjat, tak percaya
dengan apa yang didengarnya barusan.
“Dan bodohnya, aku bahkan tak pernah
mengutarakan perasaanku,” Mayang menarik napas, “tapi sudahlah!”
Suasana menjadi lengang. Sore itu, tak
banyak pengunjung yang datang. Hanya mereka yang duduk di samping dinding kaca
menghadap ke jalan, juga sepasang, mungkin suami-istri, yang duduk di pojok
ruangan. Gemericik tetes-tetes hujan dari atas atap terdengar sangat jelas.
Adam menyeruput kembali cangkir kopi
keduanya. Sesal meliputi perasaannya. Dia tak pernah membayangkan kejadian ini
akan dialami sepupunya. Andai dia tahu, tentu dia sudah menjemput Mayang jauh
sebelum hari ini, sebelum Mayang memintanya. Kalau saja kabar ini datang dari
dulu. Aaah… Adam menarik napas, memandangi tiap jengkal wajah sepupunya.
“Maafkan aku karena tak sempat hadir di
pemakaman istrimu. Kau pasti sangat mencintainya dan pasti sangat kehilangan,”
Mayang menatap Adam, menyampaikan simpatinya yang tulus.
“Ya, tak ada alasan tidak mencintai
perempuan sebaik dia, walau tak sepenuhnya. Kau tahu bukan kalau sebelum
pernikahan itu, aku mencintai orang lain. Tapi sudahlah…! Sekarang kita urus
saja urusanmu. Kau harus pulang, orang rumah sudah menunggu!” Adam berusaha
mengalihkan pembicaraan sembari berdiri dan memberi kode pada salah satu
pelayan untuk membersihkan cangkir-cangkir kopi di mejanya.
Atfa gadis yang baik. Cinta itu tumbuh
seiring berjalannya waktu. Tapi lima tahun pernikahannya dengan Atfa, Adam
tidak juga digariskan memiliki keturunan. Hingga dua bulan lalu, saat kabar
gembira itu datang, Atfa hamil dan sebentar lagi kebahagiaan mereka akan
lengkap. Sayangnya Tuhan berencana lain, Atfa terjatuh di kamar mandi, asmanya
kambuh, dan akhirnya dia harus meninggalkan Adam dan semua kenangan mereka.
Adam memekuri jemarinya. Tiba-tiba dia
begitu merindukan Atfa, juga perempuan lain yang pernah dicintainya. Dia
menegakkan posisi duduknya, mengembangkan senyum, lalu mengucapkan terima kasih
pada pelayan yang telah menyelesaikan tugasnya. Lalu segera beranjak dan
mengajak Mayang pulang.
“Ayo pulang!”
“Sebentar,” Mayang memperbaiki posisi
duduknya. Matanya lekat menatap Adam, “Dam, waktu itu aku menunggumu di
Jakarta. Kukira kau akan menyusulku. Tapi ternyata kau malah menikah diam-diam.
Kukira kau akan menepati janji untuk memperjuangkan kekasihmu.”
“Orang yang kucintai mencintai orang
lain. Ya sudah… aku menikah saja.” Adam berusaha menghangatkan suasana.
“Oh ya, kau tak pernah bercerita tentang
perempuan yang kau cintai itu. Kau…”
“Sudahlah. Lupakan saja!”
“Kau harus mengatakannya, Dam. Siapa
dia? Siapa perempuan itu?” Mayang melotot. Memaksa Adam menceritakan rahasia
terbesarnya.
Adam terdiam. Air mukanya berubah
serius.
“Perempuan itu adalah perempuan yang tak
seharusnya kucintai sebagai kekasih. Perempuan itu adalah perempuan yang kubantu
melarikan diri ke Jakarta untuk menemui kekasihnya,” Adam menatap lekat bola
mata Mayang, “perempuan itu adalah kau.”
Tubuh Mayang bergetar. Tanpa terasa
bulir hangat menggenangi matanya. Dengan terbata, dia mengutarakan perasaan
yang bertahun-tahun dipendamnya,
“dasar bodoh! Laki-laki yang kucintai
adalah laki-laki yang kutunggu kehadirannya di Jakarta tapi malah memilih
menikahi perempuan lain.”
Hujan sore itu tak kunjung reda.
Jalanan, gedung-gedung, rumah, pohon, semuanya basah. Hati Mayang dan Adam
juga. Ada perasaan bahagia yang tak bisa mereka jelaskan dengan kata-kata.
***
Makassar,
25 April 2013
0 komentar