360

Kamis, Mei 21, 2015

Besok hari minggu kedua Mei. Sebenarnya biasa saja sama seperti hari-hari minggu lainnya. Kiri kanan kelokan jalan di ujung gang masih ditumbuhi rumput tinggi, di depan kios daeng Nai’ juga masih ada lubang yang dipenuhi kerikil, pohon Mangga depan rumah tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan berbuah. Pokoknya, tak banyak yang berubah kecuali Dini yang akhir-akhir ini sibuk dengan perasaannya.

Bumi makin tua dan rumitnya, dunia-dunia baru lahir dengan cepat, banyak. Dunia maya saja punya anak tak berhingga, terus saja terlahirkan, bercampur dengan dunia yang dari dulu ada. Dunia-dunia baru itu hebat sekali menyedot orang-orang masuk ke dalamnya. Termasuk Dini.

Di dunia barunya itu Dini mengenal seseorang yang kalimat-kalimatnya santun sekali. Yang cukup membuatnya jatuh hati.

“Dini … bangun … katanya mau ke pasar!!!” ibu berteriak dari arah dapur.

Malas-malasan Dini membuka mata. Tangan kanannya langsung mencari-cari handphone kesayangannya. Handphone yang menyimpan banyak dunianya.  Rambut Dini masih acak-acakan, mata dan pipinya juga masih menyisa bekas tidur tapi itu tak mengurungkan niatnya untuk menjepret diri dan menyebar gambarnya di dunia-dunia barunya itu.

Baru bangun dan harus ke pasar.

Tulis Dini diikuti gambar dirinya yang diambilnya tadi. Di situ, Dini kelihatan cantik sekali. Bekas jerawat di kedua pipinya nyaris tak ada. Bibirnya merekah. Alisnya tebal. Kulitnya jernih.

Di pasar juga begitu. Tiap ada benda atau tempat atau apa saja yang menyenangkan hatinya, Dini akan sigap sekali merogoh handphone di tasnya. Memasang senyum lebar-lebar atau tak sungkan memonyongkan bibir dan satu … dua … tiga … klik.

“Anak jaman sekarang,” beberapa ibu-ibu bergumam lirih dan menggelengkan kepala.

Dini santai saja. Karena serius tak mendengar atau pura-pura, entahlah.


Alifa duduk di sofa panjang dengan mulut berkecap penuh kue di ruang tamu ketika Dini pulang dari pasar.

“Kue dan teh buatan ibumu selalu enak,” pujinya sambil terus mengunyah. Teh di hadapannya tinggal separuh.

Dini tertawa kecil dan bilang kalau bukan karena kuenya yang enak tapi Alifa lah yang doyan makan apa saja.

Akhirnya Dini bercerita juga. Hari ini hari penting, katanya. Dia telah membuat janji dengan seseorang yang meski belum pernah melihat wajahnya, telah membuatnya jatuh cinta.

“Tapi dia tak pernah lagi muncul di facebook. Kami lebih banyak berkirim pesan lewat sms,” ujar Dini. Dia membuang napas kasar.

Mereka banyak ngobrol apa saja  tentang cowok itu. Juga menerka-nerka bagaimana pertemuan itu nanti berlangsung. Alifa menanyainya soal bagaimana kalau-kalau nanti, ketika bertemu, cowok itu ternyata tidak menyukainya.

Napas panas keluar dari bibir dan hidung Dini. Dia melempar napasnya ke sembarang tempat. Dadanya bergolak, ketar-ketir. Tapi … bukankah Liam, cowok itu, janji untuk tak memandang siapa pun dari fisiknya? Batinnya menenangkan. Namun, hatinya sepertinya belum cukup kuat menerima kalau ternyata cowok itu jauh dari ekspektasinya. Rapalan doa supaya si Liam secakep di benaknya, meluncur juga.

Sudah menjadi kelaziman akhir pekan, orang-orang menyemut di Mall Panakkukang. Jantung Dini berdegup kencang sekali.

Tempat yang tak surut dari manusia itu adalah pilihan Dini. Awalnya Liam menolak tapi dia meyakinkan kalau di situlah yang paling mudah dia jangkau. Liam akhirnya mengikut saja.

Celana jins hitam, baju kotak-kotak kecil hijau sewarna jilbabnya adalah pilihan Dini yang sudah dikabarkannya pada Liam. Enam menit di mall itu, akhirnya, Dini menarik-narik tangan Alifa untuk menuju suatu tempat. Di sana sudah berdiri cowok berbaju kaos putih, sweater hitam, dan celana berwarna coklat—seperti yang dijanjikan Liam.

Dua pasang kaki cewek usia SMA kelas akhir itu melangkah besar-besar. Matanya awas pada wajah di depannya. Dini berdecak-decak. Liam ternyata jauh lebih cool. Hidungnya bangir, kulitnya bersih, rahangnya tegas dan tentu, yang membuatnya makin jatuh, matanya seperti menyimpan telaga, teduh.

Sepelemparan pandang, di balik tiang gedung.

“Kamu belum pernah bertemu?”

“Belum,”

“Sudah lihat fotonya? Di sosial media, mungkin.”

“Tidak. Aku jarang online.”

“Bagaimana kalau dia jelek?”

“Tak apa. Asal dia tidak narsis saja, upload foto sana-sini. Sok cantik, sok manis, padahal hasil 360. Aku sangat tidak menyukai orang seperti itu. Tidak percaya diri, mau nampil bagus. Aku pikir itu tanda tak syukur dengan yang diberikan Tuhan.”

“Kalau dia cewek seperti itu, bagaimana?”

“Kuharap kami tidak bertemu.”

Lutut Dini seperti dipukul-pukul. Matanya hangat. Secepat mungkin dia menyeret kakinya, juga Alifa, menjauh dari situ. Dia benar-benar patah hati sore ini.
Sementara dua cowok di balik tiang, Liam dan temannya, terus saja mengobrol.

***
Penulis bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel. Tulisannya bisa dibaca di www.dikpalathifah.blogspot.com




*Tulisan ini dimuat di harian Cakrawala Makassar, edisi Sabtu, 09 Mei 2015.

You Might Also Like

3 komentar

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger