Mulailah Menulis dan Berhentilah Beralasan
Senin, Juni 02, 2014
“Menulis adalah proses dan proses
pastinya butuh permulaan. Maka mulailah tanpa perlu berpikir banyak apakah
tulisanmu nanti bagus atau jelek.” Kalimat yang membuka diskusi kami sore itu.
Sore itu saya diminta untuk jadi
pemateri di sebuah sekolah menulis salah satu toko buku indie pinggir danau
Unhas. Awalnya saya menolak, tentu saja. Saya pikir apa yang mesti saya bagikan
sedang saya sendiri, akhir-akhir ini, belum menulis apa-apa. Dalam artian,
sebuah karya siap kirim. Ya … ya, saya menulis tapi sekadarnya. Untuk konsumsi
pribadi atau paling banter untuk konsumsi penghuni dunia maya, teman-teman
saya.
Kalimat tadi bukan kalimat saya. Sore
itu saya duet dengan kak Kusnandar dan kalimat itu adalah kalimatnya. Dulu kami
seorganisasi, FLP. Saya ingat sekali waktu itu beliau menjelaskan bagaimana
proses karya pertamanya lahir. Judulnya, “Siapa bilang orang bodoh tidak bisa
Fisika?” Kak Kus penulis nonfiksi, ya … semacam esai dan opini. Dan kak Kus,
menurut pandangan saya, orang yang kritis.
Selain alasan tadi, kak Kus menjadi
alasan saya berikutnya untuk menolak. Saya tidak pede saja harus duet
membawakan materi dengan senior. Apalagi dengan bentuk tulisan yang beda. Saya
fiksi, kak Kus non fiksi. Tapi … di kepala saya muncul bisikan-bisikan baik. Aihh … Dikpa, kapan kamu bisa berkembang
kalau begini? Setidaknya kalau kamu ikut, kamu bisa belajar banyak dari kak
Kus. Kira-kira bisikannya seperti itu. Dan karena bisikan itu, saya
memantapkan hati untuk pergi.
Diskusi sore itu seputar motivasi
menulis. Cerita-cerita tentang bagaimana dan kenapa kami (saya dan kak Kus)
memutuskan menulis. Kak Kus berbagi inspirasi bahwa keputusannya terjun ke
dunia kata-kata karena buku-buku. Hobi membacanya mengantarkannya untuk juga ikut
membuat bacaan.
Saya? Aihh … sebenarnya di awal, menulis
adalah pelarian. Meski mencintai dunia buku-buku, sebelumnya saya tidak pernah
serius menekuni dunia ini. Paling hanya menabung kenangan dalam catatan harian,
tidak lebih. Hingga semester-semester akhir tiba dan saya benar-benar merasa
sendiri. Kegiatan-kegiatan di kampus melonggar. Sahabat-sahabat saya sibuk
mengurusi skripsinya masing-masing. Dan … waktu itu permasalahan tak
bosan-bosannya datang. Saya tidak mau menjadi kejam dengan menjejali kuping
teman-teman saya dengan curhatan. Dan, karena itulah saya menulis. Melarikan
perasaan-perasaan saya yang kacau itu dalam cerpen-cerpen dan puisi.
Lama-lama saya jatuh cinta. Awalnya
sekadar curhat, akhirnya saya serius mempelajari. Saya mencari tempat-tempat
diskusi baik online atau nyata. Mengikuti lomba-lomba, baik skala indie atau
pun mayor. Tidak lelah mengunjungi blog-blog penulis-penulis senior. Dan, saya
juga terjangkiti penyakit SKSD. Hehe. Setiap bertemu penulis, saya akan
berusaha mencuri sedikit ilmunya. Juga, saya tidak bosan-bosannya
mengobrak-abrik om Google. Mencari referensi buku-buku atau info-info lomba.
Menulis adalah proses. Begitu juga
dengan saya. Curhat, serius belajar, mengejar media, dan sekarang saya mulai
memikirkan kedalaman isi tulisan-tulisan saya.
Terakhir, saya dan kak Kus menegaskan
bahwa proses kreatif apa pun itu, termasuk menulis, tidak membutuhkan banyak
pertimbangan untuk dimulai. Mau jadi penulis? Ya, menulis.
Dalam diskusi itu ada beberapa
pertanyaan yang terus saya ingat.
“Kak, bagaimana caranya mengatur waktu
menulis sedang saya hanya menulis ketika mood?” pertanyaan Ikbal.
Jawaban saya singkat saja. Berhubung
saya juga masih seperti itu, kadang-kadang. Saya katakan, ketika tidak mood,
membacalah atau lakukan apa saja yang kamu senangi. Misalnya, berjalan-jalan melihat
sesuatu yang menyegarkan.
Beda lagi dengan kak Kus. Jawabannya
mantap dan kompleks. Beliau bilang, apa pun yang terjadi, mau mood atau tidak,
teruslah menulis. Mau sedih, bahagia, luka, galau, atau perasaan sedang tak
jelas, tetaplah menulis. Lalu, kenali waktu-waktu terbaik menulismu. Misal,
pagi atau malam hari. Setelah itu, tentukan pukul berapa kamu harus memulai dan
berhenti menulis. Saran yang lain, tentukan target. Kapan kamu harus
menyelesaikan tulisan-tulisan itu. Dan terakhir, ingat-ingatlah apa tujuanmu
menulis.
“Kak, saya sedang menyelesaikan sebuah
novel dan ketika saya jenuh, saya menulis hal-hal lain, misalnya cerpen. Tapi
sayangnya, cerpen saya tidak maksimal hasilnya, terpengaruh dengan novel yang
saya buat. Kakak ada saran, saya harus bagaimana?” tanya Wahyuni Jabir.
Saya jawab bahwa yang paling tahu
apa-apa yang tepat untuk diri kita ya kita. Wajar saja kalau cerpen-cerpen itu
sangat terpengaruh oleh novel yang kita buat. Karena sebenarnya fokus kita pada
saat itu ya pada si novel. Kalau cerpen ditulis hanya sebagai pengobat jenuh,
saya kira tak ada masalah. Kalau hasilnya tidak maksimal, optimalkan proses
editing. Saran saya, jangan sampai si cerpen memberatkan kita hingga akhirnya
mengubah rasa si novel.
Begitu saja. Saya memang selalu menjawab
singkat-singkat. Hehe.
Nah, ini pertanyaan paling saya suka.
Punya Rahma.
“Kak, bagaimana caranya menciptakan brand? Seperti kak Dikpa yang identik
dengan daun-daun. Bagaimana cara kakak menemukan ciri khas itu?”
Nah loh, saya saja baru tahu kalau saya
diidentikkan dengan itu. Saya katakan bahwa saya tidak pernah berusaha mencari
ciri khas. Semuanya mengalir karena cinta (jiiiah). Saya yang notabene anak Biologi pastinya tidak
lepas dengan hal-hal seputaran makhluk hidup. Dan salah satu paling menarik
bagi saya adalah daun. Mulailah saya menuliskan tentang mereka.
Menyeolah-olahkan bahwa mereka mampu bicara dan merasa. Saya menyukai dedaunan,
sesederhana itu.
Saran saya, tulislah hal-hal paling kamu
minati. Kupas mereka. Tuliskan dan imajinasikan segala apa yang berkaitan
dengannya.
Saran dari kak Kus; Menulislah karena
gelisah atas persoalan-persoalan di sekitar. Berusahalah menawarkan solusi
bukan malah menambah-nambahi keluhan. Jangan menulis karena mengejar
kepopuleran.
Tambahan yang tidak sempat saya
sampaikan sore itu; Menjadi kaya dan populer adalah BONUS dari usahamu. Jangan
jadikan sebagai TUJUAN.
Ah, ya, setelah membaca ini, segeralah
menulis. Karena menulis adalah proses dan proses tidak akan pernah ada tanpa
MEMULAI.
Salam semangat.
Dikpa Sativa
****

0 komentar