Gerimis Terakhir (KeKeR FAJAR Edisi 18 Mei 2013)

Kamis, Juli 18, 2013

Alea membuka pintu dengan keras. Lagi-lagi dia pulang malam. Di wajahnya kulihat gurat-gurat lelah menyebar. Malam ini hanya itu yang kudapati. Lain waktu, aku sering melihat macam-macam gurat tersebar di sana, di wajahnya yang manis.

Kepada teman-temannya, dia beralasan pulang malam karena banyak kerja tambahan. “Kita harus mandiri,” ucapnya saat itu. Tapi aku tidak percaya, aku rasa itu hanya alasan yang dibuat-buat. Menurutku, ini semacam trik-trik membohongi diri sendiri. Sebuah pelarian. Mandiri, atau hanya lari dari sepi? Dirinya bukan lagi yang dulu. Aku melihat ada musim baru di wajahnya. Musim hujan dengan gerimis yang datang sewaktu-waktu.

Setelah membersihkan badan dan mengganti pakaian, Alea menyalakan kipas angin dan laptop. Mulai berselancar di dunia maya dengan segelas kopi hangat. Baginya, dunia maya seperti candu. Bisa menghilangkan penat yang membebani tubuhnya. Secara rutin, hampir di setiap malam, dia menyapa teman-teman mayanya itu. Dan, selalu lupa untuk menyapaku. Dia berubah. Dia lebih banyak diam sekarang.

Aku lupa kapan terakhir mendengar suaranya di saat malam seperti ini. Dia sibuk dengan semua pikiran dalam kepalanya. Dia sibuk menghindari kegelisahan-kegelisahan yang selalu datang menghantuinya. Dia sibuk, sangat sibuk, dan telah lupa bahwa aku ada.

Aku merasakan sepi menerungku diriku. Tapi biarlah, setidaknya gerimis tidak singgah di wajahnya malam ini. Dan akhirnya, kuputuskan untuk sibuk dengan segala hal dalam kepalaku. Aku ingin mengenang lagi masa-masa indah bersama Alea, perempuan yang usianya belum genap dua puluh tahun itu.

Satu Februari tahun lalu, Tuhan mempertemukan kami dalam momen yang sempurna. Pagi belum beranjak terlalu jauh, hangat sinar matahari menerobos masuk lewat celah ventilasi, saat aku dan Alea bertemu. Aku masih ingat, waktu itu Alea memakai kemeja kuning dan rok levis di bawah lutut. Dia sangat anggun, sangat ramah. Dan saat itu, bunga-bunga musim semi masih menjalar di sekujur tubuhnya.

Alea menyambutku hangat. Memelukku erat. Dia bahkan sampai mengeluarkan air mata karena bahagia. Dan aku, tak kalah bahagianya. Kesepianku berbulan-bulan berakhir hari itu.

“Kau akan menjadi temanku menghabiskan malam-malam berikutnya.” Alea berucap lembut padaku.

Di sana, di sudut kursi, juga ada laki-laki yang tak berhenti mengembangkan senyumnya. Laki-laki itu, laki-laki yang kelak mencipta banyak musim di wajah Alea.

Lamunanku pecah ketika kudapati Alea menggeliat di sampingku. Ternyata dia telah tertidur pulas. Dia tersenyum-senyum sendiri. Mungkin dia sedang bermimpi tentang pertemuan pertama kami dulu. Ah… syukurlah, hari ini aku tidak melihatnya mengeluarkan air mata.
**

Lagi-lagi Alea membanting pintu dengan keras. Malam ini malam kedua setelah kemarin malam dia tertidur pulas tanpa gerimis di wajahnya. Tapi malam ini? Ah… sepertinya hal buruk akan terjadi. Aku hanya menatapnya tanpa suara. Mungkin sesuatu telah terjadi di luar sana. Barangkali hatinya terluka. Musim memang berganti-ganti tanpa permisi. Aku menyaksikan itu di wajahnya.

Di waktu awal bertemu, wajah Alea sedang indah-indahnya dengan musim semi. Hanya ada keramahan, kelembutan, senyum yang mengembang, dan semua terlihat begitu menyenangkan. Persis seperti bunga-bunga dan daun-daun yang kuncup di musim semi. Tapi seperti yang kukatakan, lelaki yang bersamaku tempo hari sangat pintar mencipta musim. Sangat pintar mengubah-ubah rasa yang bercokol di hati Alea. Ah… sejak awal aku memang tak menyukainya.

Setelah musim semi itu, datang musim kemarau yang tidak terlalu panjang. Lelaki itu pergi dan berjanji akan kembali. Entah kapan. Alea seperti tanah kerontang yang menunggu datangnya hujan. Wajahnya selalu dipenuhi harap-harap cemas. Menunggu janji yang tak pasti. Dan, aku semakin muak pada lelaki itu.

Musim berganti lagi. Tepatnya, musim di wajah Alea. Lelaki itu memang kembali, tapi bukan untuk menepati janji. Di sisinya ada Alea baru, namanya Jeni. Aku tidak akan menceritakan di mana dan bagaimana mereka bertemu, aku tak peduli. Yang kupikirkan, Alea dan musim di wajahnya.

Mendengar kabar itu, Alea merasakan kakinya melesak ke dalam tanah. Jantungnya seperti baru saja tersambar petir. Laki-laki yang dicintainya, yang dianggapnya setia, mengkhianatinya. Dan sejak saat itu, aku seperti tidak lagi mengenal Alea. Dia berubah. Musim hujan dengan gerimis yang datang sewaktu-waktu di wajahnya, selalu membuatku sesak dan ketakutan.

Dan, malam ini aku menyaksikannya lagi. Entah tangis yang ke berapa. Air mata itu... gerimis dari matanya. Ah… Alea, sudahlah! Cukupkan semua! Dari dulu aku sudah menduga ini. Dia hanya ingin bermain-main denganmu. Hanya ingin mengetes sejauh mana logika dalam kepalamu. Dan, apakah kau sadar? Kau kalah waktu itu, Alea. Bukankah Tuhanmu telah melarang untuk pacaran? Waktu itu kau beralasan, “kami pacaran secara islami”. Tapi kau salah, Alea. Dan, kau merasakannya sekarang.

Andai aku bisa bicara sepertimu, dari dulu akan kubisikkan bahwa dia berbohong. Sejak hari pertama kita bertemu. Sayangnya, pertemuan kita malah kau anggap bukti cintanya yang besar. Kau salah. Teramat salah. Malangnya, sekarang di matamu, aku adalah benci dan cinta yang menyatu.

“Jahat…!” teriakmu dengan gerimis yang menderas di matamu.

Ah, Alea… rupanya kau baru saja mengunjungi beranda facebook-nya dan kau terluka. Kau bodoh, Alea! Tiba-tiba kau menoleh ke arahku. Menatapku tajam. Aku merasakan takut yang sangat. Seperti kemarin-kemarin, kau akan melampiaskan kemarahanmu padaku.

Tanganmu kasar memukulku. Aku diam. Kau mengempaskanku ke tembok. Aku masih diam. Kau mengeluarkan sumpah serapah. Aku tetap diam. Aku hanya bisa menunggu tangismu reda.

Beberapa menit berlalu, napasmu mulai teratur. Kemarahan itu perlahan reda. Kau kembali menatapku, merengkuh lalu memelukku dalam sisa tangismu.

“Boneka malang… harusnya aku tidak melampiaskan kemarahanku padamu. Kau hanya bagian dari kenangan indah bersamanya. Maafkan aku!” katamu lirih,

“Aku tidak akan menangis dan bersedih lagi. Janji!” tambahmu.

Ah… Alea, akhirnya musim hujan itu berhenti. Malam ini, seperti janjimu, adalah gerimis terakhir dari matamu. Dan aku, masih saja sebal pada lelaki yang memberikan diriku padamu sebagai kado kebohongan.

***
_DS_

You Might Also Like

2 komentar

  1. klo masalah nulis mmg paling jago deh...
    salut....

    ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ... belum uncle. Saya menulis to' sesuai dengan apa yang ada dalam kepala. Masih harus banyak belajar. :)

      Hapus

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger