AYAH (Cermin KeKeR FAJAR, 04/05/13)
Selasa, Mei 21, 2013Tubuhku
bergetar hebat. Tanganku mengeluarkan keringat dingin. Jantungku
berdebar sangat kencang. Aku sempurna ketakutan. Mata-mata jalang itu
mengepung tubuhku dan Ayah. Menatap kami tajam dengan penuh kemarahan
dan rasa dendam. Dasar begundal, begitu saja marah! Sinisku dalam hati.
Dasar orang-orang jahat! Bukankah Ayah sudah minta maaf? Aku merutuk
lagi sembari mengembuskan napas sekencang-kencangnya.
Lorong tempatku, Ayah dan juga tiga begundal itu berdiri memang jauh
dari keramaian. Tak ada siapa-siapa dan tidak ada lalu lalang kendaraan.
Di kiri kanan jalan hanya ada rumah dengan pintu yang tertutup. Semua
orang memang sedang berkumpul di lapangan menyaksikan parade musik
tahunan.
Harusnya hari ini adalah hari istimewaku. Berkeliling
bersama Ayah adalah hal yang tidak biasa. Ayah selalu sibuk dan jarang
punya waktu. Apalagi ini adalah tempat yang belum pernah kukunjungi.
Sebuah desa dengan gaya unik dan sangat menghargai pendidikan. Aku
membayangkan desa ini seperti Yogyakarta kecil.
“Heehh… anak kecil, lihat apa? Kamu melawan, ya?!” salah seorang dari mereka membentakku.
Aku hanya diam dan tetap menatap dengan sinis, walau sebenarnya sekujur
tubuhku telah genap dengan rasa takut. Aku memandangi mereka satu per
satu. Sungguh mengerikan. Ketiga begundal itu berambut gondrong,
mengenakan kaos oblong dan celana jeans yang robek di bagian lutut.
Tiga puluh menit lalu, sebelum Ayah memutuskan mengunjungi rumah
temannya, semuanya terasa sangat menyenangkan. Berbagai parade musik
ditampilkan di lapangan. Mulai dari musik tradisional sampai musik
modern beraliran pop, rock, jazz bahkan dangdut. Macam-macam lomba juga
digelar. Lomba baca puisi, drama, sampai lomba yang membuatku
terpingkal-pingkal, lomba makan kerupuk, lari karung, panjat pinang, dan
masih banyak lagi.
Tiga puluh menit lalu, sebelum berada di
lorong ini, aku menghabiskan waktuku di lapangan itu. Menyaksikan
berbagai pertunjukan, juga menyicipi deretan kuliner yang dijajakan
warga. Aku benar-benar menikmatinya. Tapi detik ini, aku merasa udara di
sekelilingku membeku. Tawa yang tadi mengembang, lenyap entah ke mana.
Tiga puluh menit lalu, saat aku dan Ayah melewati lorong ini, tiba-tiba
tiga begundal itu muncul dari sebuah rumah dan menutup jalan. Ban motor
depan Ayah yang sedang melaju menyerempet salah seorang dari mereka.
Dan itu menjadi alasan mereka untuk menahanku dan Ayah di sini. Begundal
sialan!! Merusak soreku yang indah. Aku tak berhenti memaki dalam hati.
“Maaf, Mas, saya tidak sengaja,” Ayah lagi-lagi minta maaf.
Aku benar-benar tidak ikhlas melihat Ayah seperti itu. Kalau saja aku
tak bersamanya, Ayah pasti sudah menghabisi tiga begundal itu. Ayah
hanya khawatir akan keselamatanku.
“Maaf… maaf… kamu tidak
punya mata? Atau sengaja mau nabrak Simo? Haahhh…? Kamu sengaja toh?”
begundal itu menyebut nama salah satu di antara mereka. Mungkin dia yang
tadi hampir Ayah tabrak.
“Tapi, Mas…” Ayah berusaha menjelaskan.
“Tapi apa? Haahh… tapi apa?” begundal yang dari tadi bicara itu—mungkin
bosnya—memotong kalimat Ayah dengan kasar. Dia bahkan memegang kerah
baju Ayah sekarang.
Aku benar-benar terbawa emosi. Rasa takut itu menguap perlahan.
“Heh… Om sendiri yang salah. Siapa suruh parkir di tengah jalan! Jangan
salahkan Ayah saya dong!” ucapku ketus dan setengah berteriak.
Tiga pasang mata itu langsung menatapku beringas. Salah seorang dari
mereka menarikku turun dari atas motor. Ayah berusaha melawan, namun dua
begundal lain meringkuknya. Aku hampir saja jatuh terjengkang ketika
mencoba melepaskan diri dari begundal itu.
“Anak kurang ajar! Kamu berani ya sama kami?!” begundal itu memegangi tanganku dan berusaha menjauhkanku dari Ayah.
“Kamu jangan beraninya sama anak kecil!” Ayah berteriak dan mulai melancarkan pukulan.
Aku melihat adegan perkelahian itu dengan mata kepalaku. Lututku serasa
melemas dan kakiku bergetar menahan berat tubuhku. Aku menggigit
bibirku kuat-kuat. Aku benar-benar takut terjadi apa-apa pada Ayah. Aku
menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata, mencari jalan keluar.
Dari ujung lorong aku melihat sekelompok orang berjalan mendekati kami.
Sepertinya mereka warga yang baru pulang dari lapangan. Aku berusaha
berteriak sekuat tenaga. Meminta pertolongan. Begundal itu tentu tidak
membiarkanku begitu saja. Dia dengan kasar menutup mulutku. Dan dengan
spontan kugigit jarinya.
Begundal itu sibuk mengaduh dan
menghilangkan sakit di jarinya, sementara aku dengan gesit berlari minta
pertolongan. Dengan napas terengah-engah, aku menjelaskan potongan
kejadian yang kualami pada warga di ujung lorong. Mereka segera tanggap
lalu dengan cepat berjalan di belakangku. Aku menghela napas lega.
Sangat lega.
“Awas… kalau kau sampai menyentuh anakku!!!”
Teriakan Ayah mengembalikan kesadaranku. Mataku mengerjap-ngerjap,
menatap sekeliling. Bukankah tadi aku telah memanggil sekelompok warga?
Di mana mereka? Ah ya Tuhan… ketakutan membuatku sulit membedakan antara
kenyataan dan imajinasi. Begundal itu masih saja memegangi tanganku.
Aku menarik napas dan kembali meronta, walau tak menghasilkan apa-apa.
Ayah mengirimkan pukulan tepat di wajah begundal berbaju coklat. Dia
jatuh terjengkang di atas tanah. Aku bersorak menyemangati Ayah. Dalam
hitungan detik, begundal itu bangkit dengan tatapan yang makin kalap.
Dua orang temannya membantunya berdiri. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu
lain menjalari tubuhku. Firasat buruk. Aku menelan ludah dan tak henti
merapalkan doa agar tidak terjadi apa-apa.
Begundal berbaju
hitam mendorong tubuh Ayah ke dekat motor. Tangannya mengeluarkan
sesuatu dari kantong celananya. Sebuah pisau. Aku terbelalak dan
berteriak ketakutan.
“Om… jangan sakiti Ayah saya, Om! Saya mohon!”
“Pegangi dia!!” Begundal itu tak mendengar teriakanku. Dia memerintahkan dua temannya untuk memegangi Ayah.
Suaraku parau. Tangisku pecah. Di depan mataku, aku melihat pisau itu
menusuk perut Ayah. Hampir saja aku pingsan, tapi tiba-tiba kudengar
Ayah tertawa. Lalu mereka—Ayah dan tiga begundal itu—berpelukan erat.
Tiga begundal itu juga memeluk dan mengusap-usap kepalaku.
“Bagaimana akting kami? Bagus, kan?” ucap mereka diselingi tawa.
Aku masih melongo dan belum mengucapkan apa-apa ketika Ayah kembali
menjelaskan, “ini teman-teman teater Ayah waktu muda dulu.”
Mendengar kalimat Ayah, rasanya udara kembali membeku dan aku benar-benar ingin pingsan.
***
0 komentar