Seribu Jingga Adha - Dikpa Sativa
Sabtu, Oktober 27, 2012
Suasana hening. Aku, Ibu, dan Om Sugi
memilih diam. Kami sibuk dengan untaian doa masing-masing. Hanya sesekali
terdengar gemiricik air kolam di sudut taman. Juga desahan angin yang
melepaskan daun-daun tua dari ranting pohon. Kelak kita pun akan demikian.
Menua dan akan pergi. Suara sepatu-sepatu pegawai dan pengunjung tak ramai
seperti biasanya. Mungkin mereka telah lelah dan memilih menyelonjorkan diri di
emperan rumah sakit atau bermalasan sambil mengisi TTS (Teka Teki Silang).
Dua
jam berlalu. Aku, Ibu dan Om Sugi masih betah berdiam. Hanya sesekali berbicara
dalam tatap. Lalu, aku sibuk menatap etalase-etalase yang mulai mengusam.
Tatapan yang kosong. Tatapan dengan resah yang memburu. Tatapan dengan doa yang
tak putus, semoga operasi kali ini berhasil. Sesaat kupandangi Ibu. Wajahnya kuyu,
ada gurat sedih dan bahagia yang bercampur. Dan yang pasti, juga ada doa yang
sama, doa yang tak putus. Ibu meremas jemarinya yang basah karena keringat.
Mengusir resah. Sedang Om Sugi mulai menguap. Terserang kantuk karena tak tidur
sejak tadi malam.
Operasi
keempat. Operasi yang seharusnya tak ada jika operasi ketiga beberapa tahun
lalu berhasil. Operasi yang seharusnya tak tertunda lama. Sejak kepergian Bapak
ke hadiratNya, memang tak ada lagi pembicaraan kapan mengganti operasi yang
gagal itu. Tak ada biaya. Dan hari ini semua terjawab. Operasi itu sudah sejak
dua jam lalu berlangsung. Operasi yang selalu menjadi bagian dari mimpi-mimpiku
saat aku sukses. Yah seperti saat ini.
“Ya
Rabb…sukseskan operasi adikku kali ini. Dia ingin berqurban di hari Idul Adha
nanti. Kumohon kabulkan inginnya.” Lirihku.
**
Namanya
Abdullah. Dia adalah adik pertamaku. Adik yang terlahir dalam keadaan yang tak
sempurna. Terlahir dalam beda. Sumbing. Namun tak pernah sekalipun mengeluarkan
bahasa kelu atas keterbatasannya. Adik yang memiliki rasa berbagi yang tak
kumiliki.
Setahun setelah
kepergian Bapak, benar-benar membuatnya dewasa. Bahkan lebih dewasa dariku,
anak tertua. Percakapan di suatu senja benar-benar membuat hatiku basah. Haru
atas ketulusannya. Di pojok belakang rumah kusempatkan untuk memperhatikannya.
Peluh membanjiri tubuhnya, kulitnya yang putih berubah legam, tangan-tangannya
berotot seperti lelaki dewasa yang bukan seusianya. Dia baru saja pulang angon, merumput untuk kambing-kambing
yang dia dapatkan dari mengalahkan inginnya. Dia lebih memilih kambing-kambing
itu dibanding handphone yang sudah
lama dia idamkan.
“Tak apalah Kak, nanti
saja aku beli handphone.
Kambing-kambing ini mau kukurbankan Idul Adha nanti. Dulu Bapak tak sempat
berkurban karena jatuh sakit. Aku ingin melanjutkan keinginan Bapak, Kak. Aku
ingin berbagi dengan yang lain. Berbagi dengan hasil kerja kerasku sendiri.”
Mendengarnya membuatku menggumpalkan haru pada dinding-dinding rasaku. Air
mataku tak terasa luruh, menganak kali di sudut pipi. Aku, bahkan tak pernah
memikirkan itu.
Sudah lama sekali aku
dan rumusan cinta yang terdiri Bapak, Ibu dan adikku tak lagi menikmati pesona
malam di balkon rumah. Tak lagi menikmati semilir angin dan gugusan bintang
yang menyenangkan. Sejak kepergian Bapak semuanya benar-benar berubah. Harus
bergumul dengan peluh dan sulitnya hidup. Suatu malam kusempatkan menikmati
ritual itu lagi, menikmati gugusan bintang yang menyenangkan. Tanpa Bapak,
tanpa Ibu. Hanya aku dan adikku, Abdullah.
“Selesai SMK nanti,
kamu mau lanjut dimana?” tanyaku memecah hening.
“Tak usahlah Kak. Biar
aku membantu Ibu. Kasihan Ibu, harus banting tulang seorang diri. Kakak saja
yang kuliah.” Jawabnya dengan vokal yang tak biasa. Vokal yang sudah menjadi
ciri khasnya sejak lahir.
“Tapi kamu harus kuliah
La, bagaimanapun caranya.” Tegasku.
“Aku langsung kerja
saja Kak sambil ikut kursus mesin di desa tetangga. Kakak jangan khawatir.
Kakak sendiri yang bilang, kesuksesan itu milik semua orang. Tidak kuliah bukan
berarti aku tidak akan sukses kan?”
“Tapi La…”
“Jangan khawatir Kak.
Lagipula Kakak kan tahu aku lemah di akademik. Jadi sebaiknya aku ikut kursus
saja. Aku tidak akan memakai toga, makanya aku ingin melihat Kakak memakainya.”
Aku terdiam. Ada kenyataan yang menohok jantungku. Betapa besar hati dan
keikhlasan adikku, dan aku? Belum bisa melakukan apa-apa. Buliran hangat
menggenangi mataku. Gugusan bintang masih memamerkan pesonanya.
**
Tiga
jam berlalu. Harusnya operasi sudah selesai. Berjuta kali kupanjatkan doa.
Semoga semuanya baik-baik saja. Hatiku mulai resah, memburu tanya. Mengapa
belum ada satu pun dokter keluar dari ruang operasi? Ya Rabb…aku menghela napas
panjang. Tak berapa lama, terdengar suara sepatu. Perlahan berjalan mendekat ke
arahku. Tidak salah lagi, salah satu dokter yang menangani operasi adikku. Baru
saja dokter itu akan menjelaskan hasil operasi, tiba-tiba Ibu memanggil.
“Va…bangun
Va. Ini sudah jam berapa? Nanti kamu telat sholat ied-nya.” Suara Ibu terdengar
jelas dan…dan…dokter itu perlahan memburam lalu menghilang. Ya Rabb…ternyata
aku mimpi. Operasi itu hanya mimpi. Sedih
seketika menggelayutiku. Tangisku buncah di sela-sela doa shalat ied.
Senja ini pemotongan hewan kurban
dilaksanakan. Sedikit terlambat. Diantara orang-orang itu, juga ada adikku.
Wajahnya berseri. Sangat bahagia walau dalam beda. Satu jingga muncul membentuk
gugusan yang menyenangkan. Kemudian dua jingga, tiga jingga, dan akhirnya ada
seribu jingga di gugusan senja. Indah. Seindah mimpi itu. Mimpi yang akan
selalu ada pada deretan doaku. Mimpi yang akan nyata. Entah kapan.
***
Cerpen ini
kupersembahkan untuk adikku, Abdullah. Semoga Allah menyayangi dan melapangkan
rezekinya.
Dikpa
Sativa adalah nama pena dari Dian Kurniati Padandi. Gadis kelahiran 15 Desember
1991 di tanah Luwu Utara ini sangat menyukai bang Iwan Fals dan banyak
terinspirasi dari beliau. Dikpa saat ini aktif sebagai mahasiswi Biologi di
Universitas Negeri Makassar dan sebagai anggota Forum Lingkar Pena UNM. Yang mau share atau berbagi ilmu dengan
Dikpa, bisa hubungi 085299213922 atau add akun Dian Lathifah Padandi juga
email, sativadikpa@yahoo.com.
1 komentar
aku share juga ea?
BalasHapus