Takdir Itu Bukan Aku

Kamis, Juni 28, 2012


Kau laki-laki yang begitu setia pada rasamu. Entahlah, apakah itu hanya bualan atau omong kosong tapi yang kutahu kau tak pernah  menyerah sejak sebelas tahun yang lalu. Sejak kita duduk di kelas empat hingga malam ini saat kau menelponku untuk yang terakhir kali. Aku tak habis pikir kau setia menjaga rasa itu. Rasa yang kumentahkan berkali-kali.
Mengenangmu membuatku menggumpalkan banyak rasa. Ada sedikit sesal yang tak kupahami, ada rasa malu pada kesetiaan yang selalu kau suguhkan untukku, tapi yang benar-benar tak kumengerti, dari semua rasa itu aku tak menemukan cinta. Bahkan saat kau ikrarkan besarnya sayangmu, aku hanya menggerung jengkel dibalik wajah yang kubetah-betahkan untuk tersenyum. Dalam pikirku, itu semua tak lebih dari rayuan gombal yang membosankan.  
Sejak tamat Sekolah Dasar, aku tak lagi memperhatikanmu. Ah…sebelumnya pun tak pernah. Kau memang tak pernah menjadi bagian yang kupikirkan. Sebenarnya sama sepertimu, aku pun menyimpan rasa suka. Sayangnya, itu bukan untukmu. Aku mengagumi dia yang jauh lebih hebat. Dia yang bisa membuatku takjub dengan kecerdasannya, membuatku mengharu biru karena kata romantisnya dan yang pasti dia jauh lebih tampan. Sedang kamu, hanya bisa mencintaiku  lewat surat-surat yang tak sempat kuingat. Bagaimana mungkin kau bisa begitu setia pada rasa yang tertolak berulang. Bagaimana mungkin kau bertahan untuk tetap memberiku tempat “the first” dihatimu. Bagaimana mungkin kau bertahan pada kisah yang menurutku hanya sebuah lelucon kanak-kanak yang menggelikan. Aku tak mengerti definisi cinta menurutmu.
Kau tak berhasil masuk sekolah yang sama denganku. Nilaimu tak cukup. Sejak itu tak lagi kulihat kau. Hingga suatu senja saat mendung sempurna membungkus langit desa “Mari pulang bersamaku, nanti keburu hujan.” Entah darimana, kau tiba-tiba berdiri di sampingku. Bagaimanapun, aku akan tetap bersikap baik sebagai seorang teman. Kuterima ajakanmu. Kita banyak bercerita, tentang dunia baru yang hadir dua tahun terakhir. Tak kuingat lagi rasamu. Kupikir kau pun sudah mengenyahkannya. Kau bertanya tentang dia. Aku hanya tertawa. Dia pun hanya lelucon kanak-kanak bagiku. Hanya klise sesaat yang akan menguap. Aku ingat sekali, saat itu kita kelas dua SMP.
Ternyata aku salah. Kau masih saja terus memupuk rasamu. “Kamu memang hebat. Pertahankan prestasimu. Aku memang tidak salah bangga padamu.” Ucapmu. Bagaimana mungkin kau tahu semua itu. Prestasiku, kelasku, bahkan deretan bangku tempatku duduk. Bagaimana mungkin kau tahu.  Dan nomor handphone tanpa nama itu. Nomor yang mengaku pengagum rahasia itu, ya Tuhan…itu adalah nomormu.
“Aku tak bisa lupa saat aku harus membaca surat cinta untukmu di depan kelas.” Katamu suatu malam saat menelponku. Surat? Aku bahkan tak mengingat kalau ada seseorang yang pernah membacakan surat untukku. Aku hanya tertawa. Berusaha mencairkan suasana. Ya Tuhan, aku ingat. Surat cinta kanak-kanak yang menggelikan. Kau membacakannya untukku. Dan benar-benar sempurna membuat wajahku pias karena malu.
Kau kembali bercerita bahwa kau sangat suka momen ketika aku meminta bantuanmu, saat aku harus membawa pupuk kandang atau bedengan. Tugas dari pak guru. Aku tertunduk malu. Aku sering memanfaatkanmu. Apakah kau tak tahu itu. Tapi mengapa kau terus menjaga rasamu. Aku mengerti. Cintamu lebih dari sekedar mencintaiku dalam surat. Aku menyesal, benih cinta itu tak kunjung tumbuh di hatiku. Untukmu.
Sebelas tahun kau tanam kasihmu untukku dan malam ini kau benar-benar ingin menemuiku. Di kosan yang sangat jauh dari kotamu. Aku melanjutkan kuliah dan kau, entah kemana angin membawamu.
Kau benar-benar hadir untukku. Ada sebingkis kado yang kau sembunyikan di balik jaketmu. Aku tahu. Entah apa yang akan kau ungkapkan. Kau masih saja membisu hingga akhirnya sebuah motor berhenti tepat di hadapan kita. Lelaki itu menyalamiku. Dia pintar sekali menghangatkan suasana. Juga berusaha mengakrabkan diri denganmu. Kau salah tingkah. Matamu mengisyaratkan tanya. “Kenalkan ini pacarku dan ini kawan lamaku waktu SD dulu”. Kuperkenalkan kalian berdua. Kau seketika diam. Aku sadar, aku sungguh telah menyakiti hatimu.
“Kau akan tetap menjadi the first dalam hatiku. Ingin kuungkapkan cinta yang membuatku makin tersiksa. Tapi cukuplah, aku sudah mendapat jawabnya. Aku akan segera menikah dengan pilihan  orang tuaku. Terpaksa karena aku tak berhasil membawamu. Simpan bingkisan itu sebagai kenangan dariku. Kumohon.” Ucapmu dibalik telepon.
Langit-langit kertasku luruh malam itu. Ada sesal yang menggumpal. Sungguh…maafkan aku. Aku tak bisa mencintaimu. Mengapa? Jangan tanyakan itu. Karena aku pun tak tahu. Istrimu adalah takdir terindah untukmu, bukan aku.

Makassar, 27 Juni 2012

You Might Also Like

3 komentar

IIDN-ers

IIDN-ers

Komunitas Blogger

Komunitas Blogger

Kumpulan Emak Blogger

Kumpulan Emak Blogger